Jumat, 15 Juni 2012

Al-Fauz dan Al-Falah dalam Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan memiliki berbagai potensi yang mengagumkan. Allah membekali manusia dengan fitrah supaya mereka dapat merasakan ketauhidan, dengan indera supaya dapat mencari kebenaran[1], dengan akal supaya dapat membedakan antara yang haq dan yang batil[2], juga hak ikhtiar untuk menerima atau menolak hidayah.[3] Selama ini, Allah hanya membebankan kepada mereka hal-hal yang sanggup dikerjakannya.[4] Oleh karena itulah tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk tidak taat pada perintah dan larangan-Nya.
Di sisi lain, kepada mereka telah diutus seorang Rasul, diturunkan kitab suci, dan disampaikan dakwah Islam untuk membimbing mereka pada hidayah Allah.[5] Namun setelah Rasul wafat, tidak ada lagi yang dapat memberikan pencerahan, kecuali apa yang telah tertera dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan untuk mendapatkan pemahaman yang benar perlu penafsiran yang relevan namun tidak melunturkan prinsip-prinsip yang ada. Oleh karena itulah para mufasir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Qur’an benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, pemisah antara yang haq dan bathil, serta jalan keluar bagi setiap problema hidup yang dihadapi.[6]
Di zaman yang serba modern ini banyak manusia yang menempuh cita-citanya dengan jalan yang tak lazim menurut agama. Banyak suap-menyuap yang dilakukan demi tercapainya suatu jabatan tertentu, merampas suatu aset, atau mengeksplorasi sesuatu yang bukan haknya. Cara yang paling musykil pun ditempuh untuk memenuhi hasrat-hasrat dunia yang dinilai akan lebih mudah tercapai dengan bergantung pada seorang dukun. Dalam kondisi yang seperti inilah manusia terpuruk dan rusak akhlaknya. Mereka berlomba-lomba mendapatkan keberuntungan dan kemenangan dunia dengan mengabaikan nilai-nilai yang telah digariskan oleh agama. Bagi mereka, realitas yang semakin menggila ini menjadi alasan untuk menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan pribadi. Yang menjadi pertanyaan, keberuntungan dan kemenangan yang seperti inikah yang selayaknya harus digapai ?
Kemenangan (al-Fauz) dan keberuntungan (al-Falah) merupakan dua hal yang paling didambakan oleh setiap manusia. Kehidupan dunia menjadikan hidup seseorang menjadi sejahtera karena mendapatkan apa yang dicita-citakannya, sedangkan cita-cita kemenangan akhirat menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih damai di dunia serta mendapatkan jaminan kelak di akhirat. Dan kebanyakan manusia telah terperangkap dalam kemaksiatan yang berkepanjangan karena mengabaikan kemenangan dan keberuntungan akhirat yang pada hakikatnya lebih menjanjikan.
Supaya tidak tersesat dalam pemahaman yang keliru, diperlukan suatu konsep yang tepat serta didasari pemahaman yang benar dalam al-Qur’an mengenai keberuntungan dan kemenangan itu sendiri. Pemahaman yang benar itu akan menjadi lebih sempurna dengan menggali gagasan para ulama yang tertuang dalam karya-karya mereka di bidang tafsir. Dengan demikian, sangatlah perlu diadakan penelitian ini. 

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang timbul adalah :
1.      Bagaimanakah konsep al-Fauz dan al-Falah  dalam al-Qur’an?
2.      bagaimanakah relevansi tafsir al-Fauz dan al-Falah dalam konteks kekinian ?  Bagaimana pula langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menggapai keduanya  menurut tuntunan al-Qur’an ?
C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a.       Untuk menemukan konsep al-Fauz dan al-Falah  dalam al-Qur’an.
b.      Untuk mengetahui relevansi tafsir al-Fauz dan al-Falah dalam konteks kekinian sekaligus merumuskan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menggapai keduanya  menurut tuntunan al-Qur’an.
2.      Kegunaan Penelitian
a.       Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi di bidang keilmuan khsusunya di bidang tafsir. Di samping itu, diharapkan dapat mengkaji sebuah konsep di antara banyak konsep yang telah ada dalam al-Qur’an demi memperdalam pemahaman dan ilmu.
b.      Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang jelas bagi siapa saja yang ingin mengetahui hal-hal yang mengantarkan pada kemenangan yang dapat diperoleh di dunia maupun di akhirat melalui pembahasan-pembahasan al-Fauz dan al-Falah  yang telah dipaparkan dalam al-Qur’an.
D.    Metode Penelitian
Di antara metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dipaparkan sebagai berikut :
1.      Jenis Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (documentary study)[7], sehingga data-data yang digunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan yang berupa buku, artikel, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik kualitatif yang membutuhkan penggalian dan pendalaman data-data yang terkait untuk menemukan jawaban yang terdapat dalam rumusan masalah.[8]  .
2.      Sumber Data
Sumber data penelitan ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan berita utama yang sesuai dengan bahasan yang dikaji, dalam hal ini adalah kitab-kitab tafsir. Sedangkan sumber data sekunder adalah data-data yang diperoleh selain sumber primer. Di samping itu, untuk memudahkan pencarian ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan, peneliti menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil Qur’an al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi sebagai pegangan.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, dengan mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder. Setelah itu dilakukan analisis dan klarifikasi terhadap data-data yang telah ada.
4.      Analisis Data
Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode :
a.       Metode Deskriptif
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif dimana peneliti akan mendapatkan gambaran umum secara sistematis mengenai isi atau dokumen melalui pengkajian secara apa adanya terhadap data-data kualitatif yang telah ada, kemudian diklarifikasikan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk menjelaskan pokok-pokok penting terkait dengan konsep al-Fauz dan al-Falah  dalam al-Qur’an. 
b.      Metode Interpretasi
Metode ini berusaha mengungkapkan makna-makna yang dituturkan oleh mufasir untuk merumuskan konsep yang lebih menyeluruh mengenai objek tertentu yang sedang diteliti, dalam hal ini adalah kata al-Fauz dan al-Falah .
c.       Metode Komparasi
Metode komparasi (perbandingan)[9]  dilakukan dengan membandingkan antara satu objek penelitian dengan objek lain untuk memperoleh informasi penengah yang dibutuhkan oleh peneliti. Melalui metode ini, peneliti akan dapat menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan mufasir.
E.     Sistematika Pembahasan
Penelitian risalah ini disusun dengan uraian-uraian yang sistematis untuk memudahkan pengkajian dan pemahaman terhadap permasalahan yang ada. Adapun sistematika dalam penulisan risalah ini adalah sebagai berikut :
Bab I pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II berisi landasan teori mengenai al-Fauz dan al-Falah  yang memuat pengertian secara etimologi dan terminologi.
Bab III merupakan pembahasan dan analisis yang menjelaskan konsep al-Fauz dan al-Falah  menurut para mufasir, kemudian diuraikan dalam berbagai bentuk, serta relevansi penafsiran mereka dalam konteks kekinian. Setelah itu akan dipaparkan konsep al-Fauz dan al-Falah  yang dibangun dari kolaborasi gagasan antara para mufasir di atas.
Sedangkan pada bab terakhir, yaitu bab IV adalah kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang perlu disampaikan terkait dengan permasalahan yang diteliti, setelah itu diakhiri dengan daftar pustaka yang memuat beberapa referensi yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.






BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Definisi al-Fauz
Secara etimologi, al-Fauz merupakan bentuk masdar dari kata kerja faza-yafuzu, yang berarti “memperoleh kemenangan”, “kesuksesan”, “selamat”, dan “terhindar”.[10] Bentuk lain seperti faizun berarti orang yang memperoleh kemenangan atau hal yang menggembirakan.[11] Walaupun dalam al-Qur’an banyak ditemukan akar kata dari fauz, namun hanya sekali dalam bentuk tunggal personal pertama (afuzu) yakni hanya dalam QS. An-Nisa (4) ayat 73.
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang diajukan oleh beberapa tokoh :
Menurut Al-Ghazali, kemenangan yang hakiki adalah kebahagiaan akhirat yang menjadi tujuan akhir manusia. Kebahagiaan yang dimaksud adalah kenikmatan surga, yang mempunyai empat ciri, yaitu :
1.      Kekal tanpa akhir
2.      Gembira tanpa duka cita
3.      Pengetahuan tanpa kebodohan dan kaya tanpa kemiskinan.
4.      Sempurna tanpa kekurangan dan kemuliaan tanpa kehinaan[12]
Menurut Hamka, al-Fauz adalah kemenangan jiwa Mu'minin dan Mu'minat mengatasi cobaan di kala hidup; menang Mu'minin dan Mu'minat mengatasi debar-debar jantungnya karena ketakutan, lalu dipadukannyalah takutnya itu, hanya kepada Allah. Kemenangan disini bermakna  kebebasan jiwa orang-orang mukmin dalam menghadapi siksaan dari orang kafir. Mereka mampu mengesampingkan rasa takut dan pedih dalam menahan siksa semata-mata karena ingin menegakkan agama Allah.[13]
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, al-Fauz adalah tercapainya suatu tujuan yang paling luhur dan cita-cita yang sudah tidak ada cita-cita lagi sesudahnya, baik bersifat  ruhiyah maupun jasmaniyah.[14]
Penjara merupakan salah satu tempat yang sarat akan celaka dan hinaan, namun bagi sebagian orang yang dianugerahi kesadaran ruhiyah yang tinggi tidak serta merta berasumsi sedemikian rupa. Seperti perkataan Ibnu Taimiyah :
“Bahwasannya di dunia ini ada suatu surga. Barangsiapa yang belum pernah menempuhnya, tidaklah dia akan menempuh syurga yang di akhirat.
Apakah yang akan dilakukan musuh-musuhku kepadaku ? surga dan jannahku ada di dalam dadaku. Kemanapun ia pergi ia kan ikut dengan daku. Jika kau dimasukkan orang-orang ke penjara, adalah itu khalwatku. Kalau aku diusir dari negeriku, itu gantiku bertamasya.
Jikalau aku keluarkan emas sepenuh benteng tempat aku dipenjarakan itu, akan jadi derma, belum juga dapat aku hargai kesyukuranku kepada tuhan lantaran, lantaran nikmat-Nya yang begini.
Aku bukan terpenjara, sebab orang yang terpenjara adalah orang yang dipenjarakan hatinya di tengah perjalanan mencari Tuhannya. Aku bukan tertawan ialah yang ditawan oleh hawa nafsunya.”
Adapun kata jannah (surga) yang dimaksud adalah surga yang ada dalam hati (dada). Tentu yang dimaksud disini bukanlah senyatanya dimana surga adalah tempat beribu kenikmatan tanpa cela, namun yang dimaksud adalah kesadaran dan kekayaan ruhiyah yang mampu membuat seseorang selalu bersyukur dan ridha kepada setiap keadaan yang menimpanya. Oleh karena itu, wajarlah bila orang yang tidak memiliki jannah dalam hati takkan merasakan jannah di akhirat, karena tanpa rasa syukur dan ikhlas mustahil seseorang dapat beramal dan beribadah dengan khusyuk kepada Allah.[15]
Orang yang memperoleh kemenangan dan keberuntungan akan merasakan kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan ada yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Kebahagiaan duniawi menurut Ar-Raghib al-Asfahani adalah memeroleh hal-hal yang menjadikan hidup duniawi nyaman, antara lain berupa kelanggengan hidup, kekayaan dan kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi meliputi empat hal, yaitu wujud yang langgeng tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan.[16]
Menurut Michael Hart, “Kemenangan hakiki adalah seperti yang diperoleh oleh Muhammad. Muhammad tidak hanya memimpin agama semata, tetapi juga pemimpin duniawi. Dialah, Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun lingkup duniawi”.[17] Katanya lagi, “Fakta menunjukkan, selaku pendorong terhadap gerak penaklukkan yang dilakukan oleh Bangsa Arab (muslimin), pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.”[18]
Menurut Ary Ginanjar Agustian, kemenangan itu hanya akan dicapai bila ada sikap proaktif yang disertai prinsip yang benar, dan konsep visi yang berorientasi pada  siklus yang sesungguhnya, yaitu ‘hari kemudian’.[19] Kata beliau, “Berikan yang terbaik di dunia, maka niscaya kemenangan akan diraih, baik di dunia dan di hari kemudian, sebagaimana intisari dari puisi Hasan al-Bashri ketika Rasulullah saw masih hidup :
Aku tahu, rizqiku tak mungkin diambil oleh orang lain
Karenanya hatiku tenang
Aku tahu, amal-amalku tak mungkin dilakukan orang lain
Maka, aku sibukkan diriku bekerja dan beramal
Aku tahu, kematian menantiku
Maka, kupersiapkan bekal untuk berjumpa dengan Rabbku”.[20]

B.     Definisi al-Falah
Al-Falah merupakan bentuk masdar dari kata kerja falaha-yaflahu, yang berarti mengolah dan membajak.[21] Bentuk lain seperti faizun berarti orang yang memperoleh kemenangan atau hal yang menggembirakan.[22]
 Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi dari para tokoh :
Menurut M. Quraish Shihab, al-Falah berarti memperoleh apa yang diinginkan, atau dengan kata lain kebahagiaan. Seseorang baru bisa merasakan bahagia jika mendapatkan apa yang diinginkan. Akan tetapi,  sesuatu yang dianggap sebagai kebahagiaan tidak akan menjadi kebahagiaan kecuali jika ia merupakan sesuatu yang didambakan serta sesuai dengan kenyataan dan substansinya.[23]
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, al-Falah (keberuntungan) adalah tercapainya tujuan yang dicita-citakan, berkat ilham yang diberikan Allah pada orang-orang yang bertakwa untuk menuju jalan keberhasilan.[24]
Menurut Syekh Ibnul Qayyim: “Orang yang beruntung sejati adalah orang setiap kali ia bertambah ilmunya, maka bertambah sifat tawadlu’ dan kasih sanyangnya, setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut dan kewaspadaannya, setiap kali bertambah umurnya, maka berkuranglah kerakusannya kepada dunia”.[25]
Menurut John C. Maxwell, orang yang paling beruntung adalah mereka yang mempunyai visi, mengejarnya, dan membantu orang lain untuk melihatnya (pemimpin). Orang yang memiliki visi lalu mengejarnya, mereka lebih senang membicarakan tentang masa depan, berpikir positif, tampak aktif, dan senantiasa bersemangat. Mereka tahu ke arah mana harus melangkah, apa yang harus dikerjakan, dan selalu berorientasi pada masa depan. Hasilnya, adalah sesuatu yang luar biasa karena mereka selalu memikirkan rencana untuk masa depan.[26]














BAB III
ANALISIS

A.    Al-Fauz dan al-Falah dalam Al-qur’an
Kata al-Fauz dan al-Falah banyak disebut dalam al-Qur’an. Penyebutan al-Fauz beserta derivasinya berjumlah 27 kali, sedangkan al-Falah 33 kali. Mengenai data kuantitas lafadz al-Fauz dan al-Falah akan dirinci dalam tabel berikut[27]
Kata
Bentuk
Kata Arti
Jml.
افلح
Fi’il Madhi
Berhasil, memperoleh yang dicari
4
تفلح يفلح  يفلحون تفلحون
Fi’il Mudhari’
Mendapat keberuntungan
23
المفلحون  المفلحين
Isim Fa’il
Orang yang beruntung
6
33
Kata
Bentuk
Kata Arti
Jml.
فاز
Fi’il Madhi
Menang, berhasil
1
الفوز
Masdar
Kemenangan
19
الفائزون
Isim Fa’il
Pemenang, juara
4
مفازا  مفازة
Masdar
kemenangan atau keselamatan
3
27
Tabel 1. Data Kuantitas Lafadz Al-Fauz dan al-Falah dalam Al-qur’an
                                                                                   
Keterangan :

1.        افلح : QS. Thaha (20) ayat 64 ; QS. Al-Mukminun (23) ayat 1 ; QS. Al-A’la (87) ayat 14 dan QS. As-Syams (91) ayat 9.
2.        تفلح يفلح يفلحون تفلحون : QS. Al-Kahfi (18) ayat 20 ; QS. Al-Baqarah (2) ayat 189 ; QS. Ali Imran (3) ayat 130 ; QS. Ali Imran (3) yat 200 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 35 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 90 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 100 ; QS. Al-A’raf (7) ayat 69 ; QS. Al-Anfal (8) ayat 45 ;QS. Al-Hajj (22) ayat 77 ; QS. An-Nur (24) ayat 31 ; QS. Al-Jumu’ah (62) ayat 10 ; QS. Al-An’am (6) ayat 21 ; QS. Al-An’am (6) ayat 135 ; QS. Yunus (10) ayat 17 ; QS. Yunus (10) ayat 77 ; QS. Yusuf (12) ayat 23 ; QS. Thaha (20) ayat 69 ; QS. Al-Mukminun (23) ayat 117 ; QS. Al-Qashas (28) ayat 37 ; QS. Al-Qashas (28) ayat 82 ; QS. Yunus (10) ayat 69 dan QS. An-Nahl (16) ayat 116.
3.        المفلحون المفلحين : QS. Luqman (31) ayat 5 ; QS. Al-Mujadilah (58) ayat 22 ; QS. Al-Hasyr (59) ayat 9 ; QS. At-Taghabun (64) ayat 16 ; QS. Al-Qashas (28) ayat 67 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 5.
4.        فاز : QS. Ali Imran (3) ayat 185
5.        الفوز : QS. Al-Ahzab (33) ayat 71 ; QS. An-Nisa (4) ayat 73 ; QS. An-Nisa (4) ayat 13 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 119 ; QS. Al-An’am (6) ayat 16 ; QS. At-Taubah (9) ayat 72 ; QS. At-Taubah (9) ayat 89 ; QS. At-Taubah (9) ayat 100 ; QS. At-Taubah (9) ayat 111 ; QS. Yunus (10) ayat 64 ; QS. As-Shafat (37) ayat 60 ; QS. Al-Mukmin (40) ayat 9 ; QS. Ad-Dukhan (44) ayat 57 ; QS. Al-Jatsiyah (45) ayat 30 ; QS. Al-Hadid (57) ayat 12 ; QS. As-Shaf (61) ayat 12 ; QS. At-Taghabun (64) ayat 9 ; QS. Al-Buruj (85) ayat 11 dan QS. Al-Fath (48) ayat 5.
6.        الفائزون : QS. At-Taubah (9) ayat 20 ; QS. Al-Mukminun (23) ayat 111 ; QS. An-Nur (24) ayat 52 dan QS. Al-Hasyr (59) ayat 20.
7.        مفازا  مفازاة : QS. An-Naba’ (78) ayat 31 ; QS. Ali Imran (3) ayat 188 dan QS. Az-Zumar (39) ayat 61.
B.     Tafsir Al-Fauz dan al-Falah dalam Al-qur’an
Melalui data di atas, dapat diketahui bahwa banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang al-Fauz dan al-Falah, di antaranya akan dibahas sebagaimana berikut ini :
1.        QS. An-Naba’ (78) ayat 31-36
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا 31 حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا 32 وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا 33 وَكَأْسًا دِهَاقًا 34 لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا 35 جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا 36
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,  (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman), Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.

Mafazan pada ayat di atas dapat berarti kemenangan atau tempat dan waktunya. Keterangan pada ayat selanjutnya menandakan bahwa keberuntungan yang dimaksud adalah kenikmatan surga yang berupa kebun yang berisi aneka ragam tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan lezat, pemandangan yang indah serta aroma yang harum (hadaiq), para gadis remaja yang sebaya umurnya (kawa’ib atraban), dan gelas-gelas yang berisi penuh minuman surga (ka’san dihaqa). Di samping itu penghuni syurga juga akan terhindar dari laghwan, yaitu hal-hal yang tidak terlarang namun tidak ada manfaatnya, dan dusta. Itulah ganjaran yang dianugerahkan oleh Allah untuk para penghuni surga yang jumlahnya jauh lebih besar daripada amal-amal kebajikan yang telah mereka perbuat.[28]   
Ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang takut melanggar apa-apa yang telah diharamkan Allah dan takut pada siksa-Nya. Orang yang bertakwalah yang kelak akan mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan di sisi Allah berupa surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Sehingga dapat diketahui bahwa takwa mempunyai beberapa dimensi :
a.     Menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah swt.
b.    Mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah swt.[29]
Terpenuhinya dua dimensi itulah yang menyebabkan seseorang dapat merasakan keberadaan Allah yang sedang terus mengawasinya (muraqabatullah). Orang yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya karena tahu dan yakin bahwa dirinya tak akan luput dari pengawasan Allah. Dan tak hanya  cukup dengan iman, karena orang yang beriman pun masih diperintahkan untuk bertakwa, sebagaimana termaktub dalam QS. Ali Imran (3) ayat 102 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya :  102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

2.        QS. As-Syams (91) ayat 9-10
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا 9 وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا 10

Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Keberuntungan pada ayat di atas dimaknai dengan memperoleh apa yang diharapkan yang kelak akan melahirkan kebahagiaan. Sedangkan orang yang mendapatkan keberuntungan adalah orang yang disucikan jiwanya oleh Allah, dan orang orang yang dibiarkan oleh Allah larut dalam kekotoran dirinya, itulah yang akan merugi. Menurut al-Biqa’i, kesucian jiwa itu dapat diraih dengan memperhatikan tuntunan kenabian serta tuntunan para ulama yang mengamalkan tuntunan Allah. Di sisi lain, orang yang mengingkari tuntunan-tuntunan itulah yang pada hakekatnya dibiarkan oleh Allah dalam keadaan kekotoran jiwanya yang menyebabkan dirinya merugi.[30]
3.        QS. Al-Buruj (85) ayat 11
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.

Menurut keterangan ayat di atas, yang dimaksud dengan keberuntungan adalah kenikmatan surga. Surga inilah yang diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Konteks ayat ini menggambarkan keadaan pada masa jahiliyah dan periode Mekah banyak sahabat Nabi yang  mengalami penyiksaan dan penganiayaan dari orang-orang kafir. Nama-nama seperti Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, Shafwan bin Umayah, al-Walid bin Mughirah, dan lainnya tercatat sebagai tokoh-tokoh penganiaya. Di sisi lain, nama-nama seperti Bilal bin Rabbah, Amar bin yasir, dan lain-lain tercatat sebagai kelompok yang teraniaya. Orang-orang seperti itulah yang digambarkan akan mendapatkan surga dan segala kenikmatannya.[31]
4.        QS. Al-A’la (87) ayat 14-15
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى 14 وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى15
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.

Keberuntungan yang dimaksudkan disini adalah memperoleh apa yang diharapkan yang berupa kebahagiaan. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, kebahagiaan itu terbagi menjadi dua, yaitu kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi mencakup usia panjang, kekayaan, dan kemuliaan, sedangkan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan.
Di antara kriteria orang yang akan mendapatkan keberuntungan adalah orang-orang yang membersihkan diri dan ingat pada tuhannya. Membersihkan diri disini bukan berarti sekedar membayar zakat, namun juga menunaikan shalat, karena keduanya itu saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan.[32] Sedangkan orang yang mengingat tuhannya adalah orang yang mengambil manfaat dari peringatan-peringatan Allah dan selalu menyadari kehadiran Allah (muraqabatullah). Dengan memenuhi kedua kriteria tersebut, maka seseorang akan mendapatkan keberuntungan sebagaimana digambarkan oleh ayat ini.[33]  
5.        QS. An-Nisa (4) ayat 73
وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ الله لَيَقُولَنَّ كَأَن لَّمْ تَكُن بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيتَنِي كُنتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزاً عَظِيماً
Artinya : Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula)."

Ayat di atas menerangkan bahwa kaum munafik adalah mereka yang apabila orang mukmin ditimpa musibah, terbunuh, atau kalah, mereka akan bersyukur karena tidak ikut berperang. Dan apabila orang-orang mukmin mendapatkan kemenangan, mereka akan menyesali sikap mereka yang tidak ikut berperang, karena yang menjadi keinginan mereka hanyalah nikmat duniawi yang jauh dari kemenangan yang bersifat fana.[34]
Sehingga yang dimaksud kemenangan dalam ayat tersebut adalah kemenangan orang-orang mukmin dalam perang yang diingini oleh orang-orang munafik. Ini baru kemenangan yang mereka sesali di dunia, dan yang lebih menyedihkan adalah penyesalan mereka karena tidak diselamatkan dari azab seperti rang-orang mukmin.
6.         QS. Al-Hadid (57) ayat 12
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُم بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِم بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : (yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar."

Keberuntungan dalam ayat di atas adalah kenikmatan surga yang dianugerahkan kepada orang-orang yang beriman yang mempunyai catatan amal yang baik, sedangkan orang-orang munafik masih berharap untuk mendapatkan sebagian cahaya dari orang-orang beriman untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan dan azab yang sedang mereka hadapi. Namun ternyata hanya penyesalan yang mereka dapatkan karena seseorang itu hanya akan selamat karena amalnya sendiri.[35] Adapun ayat yang serupa adalah QS. Al-Hasyr (59) ayat 20.[36]
7.         QS. Al-Maidah (5) ayat 119 :
قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : 119. Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar."

Al-Fauz dalam ayat di atas mempunyai dua dimensi makna, yaitu  kenikmatan surga dan keridhaan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu benar dan jujur. Mereka tidak ternodai oleh kebatilan dan tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran, kemudian kebenaran itu mendarah daging dalam diri mereka.  Kenikmatan surga itulah yang akan mereka nikmati selama-lamanya yang tak terbatas pada kenikmatan materi saja. Di sisi lain, ada kenikmatan ruhiyah yang lebih tinggi, yaitu keridhaan dari Allah swt yang mereka sambut pula dengan keridhaan terhadap-Nya, inilah yang dinamai dengan keberuntungan yang besar.[37]
8.         QS. At-Taubah (9) ayat 72
وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.

Menurut ayat di atas, kemenangan yang besar adalah mendapatkan bukti janji Allah berupa surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tempat yang nyaman di surga ‘Adn, dan mendapatkan keridhaan dari Allah swt.
Kata ‘Adn berarti kemantapan dan kekekalan. Ada yang memahami bahwa ‘Adn adalah salah satu nama tingkatan surga. Jika demikian, maka orang yang dimasukkan ke dalam surga akan mantap hatinya dan hidup kekal dalam surga.
Sedangkan kata ridhwanun, diambil dari kata ridha. Bagi manusia, ridha adalah kepuasan hati. Kata tersebut pada ayat ini tertera dalam bentuk nakirah/indifinit. Ini berarti bahwa keridhaan Allah sedemikian besar, agung, dan beraneka ragam sehingga tak terjangkau besar dan agungnya oleh manusia. Selanjutnya terbaca dan terdengar dari ridhwaanun adalah bunyi nun mati pada akhirnya (tanwin). Itu dipahami dalam arti kecil, atau sedikit, sehingga pada akhirnya ayat ini bermaksud menyatakan –wallahu a’lam- bahwa keridhaan Allah walau sedikit lebih baik dan agung daripada surga dan tempat tinggal nyaman di sana.[38]
Memang bisa saja seseorang memberikan kepada seseorang anugerah yang besar, tetapi hatinya belum tentu rela dan puas terhadapnya. Ketika itu, boleh jadi ia menikmatinya tetapi masih terasa ganjalan dalam hati. Sebaliknya, boleh jadi seseorang tidak menerima banyak dari pihak lain, tetapi jika ia merasa ridha terhadapnya, maka sedikitpun dari anugerahnya bahkan boleh jadi tanpa anugerah yang lain, dia telah merasa nyaman. Ini karena kebahagiaan bukan terletak pada materi yang diperoleh, namun pada hati yang memperoleh                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                nya. Sehingga sesuatu yang kecil namun berkenan di hati, lebih utama daripada yang besar namun sama sekali tidak berkenan di hati. Oleh karena itulah manusia mendapatkan surga bukan semata karena amalnya, melainkan karena Allah ridha terhadapnya.
9.             QS. At-Taubah (9) ayat 20
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya : 20. orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.  

Al-faizun pada ayat di atas adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan, sedangkan kemenangan yang dimaksud adalah rahmat dan pahala yang besar dari Allah swt.[39] Di samping itu, kemenangan disini juga dapat dimaknai dengan pahala keutamaan dan kemuliaan yang tinggi yang diperuntukkan bagi orang yang berjihad di jalan Allah. Untuk mendapatkan kemenangan tersebut seseorang harus berjihad melawan diri sendiri maupun orang-orang kafir. Melawan diri sendiri yakni menaklukkan hawa nafsu supaya tunduk terhadap perintah Allah, sedangkan melawan orang kafir dapat melalui perang, dapat pula dimaknai dengan menyumbangkan harta untuk kepentingan perang, atau melakukan kegiatan dalam  berbagai bidang untuk memerangi mereka.[40]
10.     QS. At-Taubah (9) ayat 88
لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : 88. Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Menurut Sayyid Quthb, ayat di atas menggambarkan tentang tabiat iman yang kuat dan berani menghadapi rintangan, sehingga keberuntungan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah suatu kejayaan yang tak dapat diperoleh hanya dengan duduk-duduk saja, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya dengan jiwa dan harta.[41] Sedangkan menurut Rashid Ridha, keberuntungan tersebut adalah memperoleh kepemimpinan di dunia sekaligus kebahagiaan di akhirat.[42] 
Beberapa pengertian al-Fauz yang telah dipaparkan dalam kandungan ayat-ayat di atas mempunyai persamaan pengertian dengan beberapa ayat lain yang sejenis dalam al-Qur’an. Adapun perinciannya akan dipaparkan sebagaimana berikut ini : 
No
Makna Al-Fauz
Ayat
1.
Surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya
QS. An-Naba’ (78):31; QS. Al-Buruj (85) :11;
QS. Al-Hadid  (57):12 ; QS. Al-Hasyr (59) :20; QS. At-Taubah (9) : 89; QS. Al-Jatsiyah (59) :30; QS. Al-Maidah (5) : 119; QS. At-Taubah (9): 72;
 QS. Ali Imran (3): 185; QS. An-Nisa (4) : 13;
QS. At-Taubah (9): 100; QS. At-Taubah (9): 111;
QS. As-Shaffat (37):60; QS. Ad-Dukhan (44): 57;
QS. At-Taghabun (64): 9; QS. Al-Fath (48): 5
2.
Mendapatkan rahmat atau diselamatkan dari azab
QS. Al-Mukmin (40) : 9; QS. Al-An’am (6) : 16;
QS. At-Taubah (9) :20; QS. Al-Mukminun(23):111
QS. Al-Ahzab (33) : 71; QS. An-Nur (24) : 52;
QS. Ali Imran (3) : 188; QS. Az-Zumar (39): 61
3.
Memperoleh apa yang diharapkan
QS. As-Syams (91) : 9; QS. An-Nisa (4) : 73;
QS. Yunus (10) : 64; QS. At-Taubah (9) : 88
Tabel 2. Klasifikasi Ayat menurut Kandungan Makna Al-Fauz
Di bawah ini beberapa ayat yang berkaitan dengan keberuntungan (al-Falah) :
1.         QS. Al-Mukminun (23) ayat 1-11
 قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9) أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)

Artinya : 1. Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa yang mencari dibalik itu, sungguh mereka itulah orang-orang yang meampaui batas.  8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. 9. Dan orang-orang yang memeihara sembahyangnya, 10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, 11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang yang berimanlah yang akan mendapatkan keberuntungan. Keberuntungan yang dimaksud disini adalah memperoleh apa yang diharapkan yang diperoleh dengan kerja keras, sebagaimana seorang petani yang menanam benih kemudian merawatnya hingga panen tiba. Hasil yang demikian itu merupakan gambaran dari apa yang diharapkan oleh orang yang bekerja keras (dalam hal ini adalah petani). Oleh karena itulah, tidak serta-merta yang beriman itu akan mendapatkan keberuntungan, akan tetapi mereka harus berusaha keras untuk memenuhi enam sifat lainnya, yaitu :
a.     Beriman
b.    Khusyu’ dalam mengerjakan shalat
c.     Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna
d.    Membersihkan diri dengan menunaikan zakat
e.     Memelihara kemaluan
f.     Memelihara amanat, dan
g.    Menunaikan janji.[43]
Poin b-g dalam perincian di atas merupakan poin amal shaleh yang belum terangkum dalam keimanan (poin a). Amal shaleh itulah yang selalu mengiringi keimanan seseorang[44] dan selalu diperintahkan Allah pada hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, untuk menggapai keberuntungan, iman saja tidak cukup, namun juga harus melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan inilah yang disebut dengan takwa.[45]
2.        QS. Al-Hasyr (59) ayat 9
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.
Keberuntungan dalam konteks ayat ini adalah mendapatkan segala yang didambakan, yakni ketika Kaum Anshar menyambut datangnya Kaum Muhajirin, mereka yang mempunyai sifat-sifat yang tercermin dari keimanan sejati, dan sifat-sifat itulah yang akan membawa mereka pada keberuntungan. Sifat yang diunggulkan oleh Allah dalam ayat tersebut adalah itsar (mengutamakan orang lain melebihi dirinya sendiri).[46]
Kata syuhh juga bermakna kekikiran yang disertai dengan keinginan yang meluap untuk terus memiliki sesuatu. Dengan demikian, untuk mendapakan keberuntungan, seseorang itu harus melepaskan segala keinginan untuk terus mengingini sesuatu, karena menyadari bahwa pada hakekatnya kepemilikan mutlak itu hanyalah milik Allah semata, sedangkan manusia hanya boleh raja’ dan ikhtiar, sehingga ketika merasakan kehilangan pun tidak sampai membutakan hatinya dari rasa ikhlas terhadap apa yang diingini tersebut karena segala orientasi hidupnya selalu disesuaikan dengan kehendak Allah.[47]
3.          Yunus (10) ayat 77
قَالَ مُوسَى أَتَقُولُونَ لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَكُمْ أَسِحْرٌ هَذَا وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُونَ (77)
Artinya : Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat kemenangan."
Ayat di atas berisi suatu keterangan bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak akan diselamatkan dari azab karena kemusyrikan yang mereka lakukan. Sebagaimana yang dialami oleh Fir’aun dan para tukang sihir yang mendustakan mukjizat Nabi Musa a.s. Keberuntungan yang dimaksud disini adalah kemenangan para tukang sihir yang melawan kemukjizatan Nabi Musa a.s. Oleh karena itulah mereka tidak akan mendapatkan kemenangan di dunia sekaligus mendapat azab dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.[48] 
4.          QS. Yusuf (12) ayat 23
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Artinya : Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.

Konteks ayat tersebut adalah ketika Zulaikha menggoda Nabi Yusuf di dalam rumahnya yang telah tertutup pintunya. Perempuan itu mengajak Yusuf untuk melakukan perbuatan yang Allah larang, yaitu zina. Namun, Yusuf tetap pada keteguhan hatinya untuk menjaga diri dengan berlindung kepada Allah dari segala hal yang menjerumuskannya pada dosa, sedangkan Zulaikha adalah seorang yang berlaku zalim dengan mengkhianati suami dan agamanya dengan perbuatan yang rendah dan hina.
Keterangan ayat di atas menandakan bahwa Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang menganiaya diri sendiri atau menganiaya orang lain dengan suatu pengkhianatan dan pelanggaran kehormatan orang. Di dunia, dia tidak akan mencapai imamah atau kepemimpinan, sedangkan di akhirat dia takkan mendapatkan ridha Allah Ta’ala, atau masuk ke dalam syurga-Nya yang penuh dengan kenikmatan. Sehingga orang yang beruntung adalah mereka yang kelak akan mendapatkan surga sekaligus memperoleh keridhaan dari Allah Ta’ala.[49]
5.          QS. Al-An’am (6) ayat 21
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Artinya : Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.

Manusia dituntut untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan sistem yang diciptakan oleh Allah swt. Bila mereka melakukan pelanggaran, maka kelak akan membinasakan dirinya sendiri. Manusia juga mempunyai pandangan hidup dan keyakinan yang dijadikan sebagai dasar untuk mencapai apa yang didambakan. Tidak ada jalan untuk memperoleh kebahagiaan kecuali melalui jalan ini. Seandainya ia menempuh jalan lain –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, atau dengan kata lain berlaku zalim- maka ia tidak akan mendapatkan apa yang didambakannya. Kalaupun terlihat ia mencapainya maka itu hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal. Oleh karena itulah orang yang zalim tidak akan pernah mendapatkan kemenangan di dunia karena apa yang dilakukannya bertentangan dengan sistem.[50]
6.          QS. Al-Maidah (5) ayat 90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.  

Ayat di atas berisi tentang larangan Allah terhadap orang-orang yang beriman untuk meminum khamr, main judi, berkurban utuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, karena hal demikian termasuk perbuatan syetan yang menjerumuskan pada kebinasaan.
Pada intinya, Allah memerintahkan kepada manusia untuk meninggalkan dan menjauhi perbuatan keji tersebut, seraya berharap semoga dapat beruntung dengan apa yang diwajibkan atas manusia, berupa penyucian jiwa, kesehatan badan, dan saling mencintai di antara kalian. Di samping itu orang yang bertakwa akan selalu berhati-hati dengan tingkah lakunya, karena selalu merasa diawasi oleh Allah swt (muraqabah). Dengan demikian, perbuatan yang sia-sia pun akan ditinggalkan juga, terlebih perbuatan keji.[51]
7.         QS. Al-Hajj (22) ayat 77
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.  

Pada ayat di atas diterangkan bahwa cara mencapai kemenangan adalah melalui tangga ketakwaan. Adapun cara memperolehnya sebagaimana berikut :
a.         Tunduk dan taat kepada Allah.
b.         Beribadah kepada Allah dengan segala apa yang digunakan untuk menghambakan diri pada-Nya.
c.         Berbuat kebaikan yang diperintahkan, seperti bersilaturahim dan berakhlak mulia. 
Perintah untuk rukuk dan sujud itu selayaknya dimaknai dengan perintah untuk tunduk dan taat pada kekuasaan-Nya. Dalam shalat, sujud merupakan simbol penghambaan tertinggi karena meletakkan suatu bagian yang paling urgen bagi manusia, yakni akal (yang letaknya ada di dalam otak) di tempat yang serendah-rendahnya, bahkan disejajarkan dengan kaki. Dalam hal ini, totalitas penyerahan diri kepada Sang Khalik mencapai puncaknya dengan menempatkan diri serendah-rendahnya di bawah kekuasaan-Nya yang agung. Oleh karena itulah, ruku’dan sujud dapat dimaknai juga dengan tunduk dan taat kepada Allah.[52] 
8.         QS. Al-Maidah (5) ayat 100
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

Ayat di atas berisi keterangan bahwa yang mendapatkan keberuntungan adalah para ulul albab yang dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Al-khabits adalah sesuatu yang tidak disenangi karena keburukan atau kehinaannya dari segi material maupun immaterial menurut pandangan akal dan syari’at. Sedangkan ath-thayyib, termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan dan diperbolehkan oleh syari’at.[53] Sesuatu yang buruk dalam substansinya, sebab, atau bentuk apapun keburukan pasti tidak disukai oleh Allah dan Rasu-Nya, dan tidak juga diterima oleh akal sehat.
Ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Yang merenungkan ketetapan Allah dan melaksanakannya diharap dapat meraih keberuntungan dan siapa yang menolaknya, mesti ada kerancuan dalam cara berpikirnya.[54] Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mendapatkan keberuntungan adalah mereka yang menggunakan nalarnya dengan benar (terkait dengan konsekuensi suatu kebaikan maupun keburukan) sehingga dapat merealisasikan ketaatannya secara sadar dengan melaksanakan apa yang diperintah oleh Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
9.         QS. Al-Maidah (5) ayat 35
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.

Dalam ayat di atas dijelaskan pula bahwa orang yang beruntung adalah mereka yang bertakwa, mencari jalan untuk taqarrub, dan bersungguh-sungguh dalam berjuang. Keberuntungan yang dimaksud adalah kebahagiaan, kemenangan dan kejayaan, baik di dunia maupun di akhirat, di samping kelanggengan dalam surga yang penuh kenikmatan.[55]
Beberapa pengertian al-Falah yang telah dipaparkan dalam kandungan ayat-ayat di atas mempunyai persamaan pengertian dengan beberapa ayat lain yang sejenis dalam al-Qur’an. Adapun perinciannya, sebagaimana berikut ini : 
No
Makna Al-Falah
Ayat
1.
Surga dan keridhaan Allah swt
QS. Al-Mukminun (23):1; QS. Al-Qashas (60) :67; QS. Luqman  (31):5 ; QS. Al-Mukminun (23) :102; QS. Al-Hajj (22) : 77; QS. Ali Imran  (3) : 130;
QS. Al-A’la (87) : 14; QS. Al-Baqarah (2) : 5;
QS. Al-Mujadilah (58): 22; QS. Al-Baqarah (2):189
2.
Selamat dari azab
QS. An-Nahl (16) : 116; QS. yunus (10) : 69;
QS. Yunus (10) : 17; QS. Yunus (10) : 77
QS. As-Syams (91) : 9; QS. Al-Qashas (28) : 82;
QS. Al-Kahfi (18) : 20; QS. An-Nur (24) : 31;
QS. Al-A’raf (7) : 69; QS. Al-Maidah (5) : 35;
QS. Al-Maidah (5) : 100; QS. Al-Maidah (5) : 90
QS. At-Taghabun (64):16; QS. Yusuf (12) : 23
3.
Kemenangan duniawi
QS. Al- Qashas (28) : 37; QS. Thaha (20) : 69;
QS. Thaha (20) : 64; QS. Al-Anfal (8) : 45
4.
Balasan yang baik / memperoleh yang didambakan
QS. Al-mukminun (23):111; QS. Al-An’am (6):135;
QS. Al-Jumu’ah (62): 10; QS. Ali Imran (3) : 200; QS. Al-An’am (6) : 21
Tabel 3. Klasifikasi Ayat menurut Kandungan Makna Al-Falah

C.     Konsep al-Fauz dan al-Falah
Pembahasan di atas telah memaparkan berbagai macam penafsiran mengenai al-Fauz dan al-Falah yang menghasilkan beberapa makna yang terkumpul dari ayat-ayat yang terkait. Adapun ringkasannya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
No
Makna al-Fauz
Makna al-Falah
1.
Surga dan kenikmatannya
Surga dan keridhaan Allah
2.
Selamat dari azab
Selamat dari azab
3.
Mendapat rahmat Allah
Kemenangan duniawi
4.
Memperoleh apa yang didambakan
Memperoleh apa yang didambakan
Tabel 4. Ringkasan Makna al-Fauz dan al-Falah
Melalui tabel di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan kata al-Fauz dan al-Falah itu hampir sama, yakni sama-sama mempunyai dua dimensi, yakni jasmani dan ukhrawi. Kenikmatan jasmani meliputi kemenangan dan keberuntungan yang bersifat duniawi seperti menang dalam peperangan, mendapatkan apa yang didambakan, dan lain-lain, sedangkan kenikmatan ukhrawi meliputi kenikmatan surga, ketenangan hati, dan lain-lain.
Asal dari kata Al-Fauz adalah “memperoleh kemenangan”, “kesuksesan”, “selamat”, dan “terhindar”.[56] Makna-makna tersebut terbukti relevan dengan berbagai penjelasan yang telah dikemukakan di atas. Memperoleh kemenangan dan kesuksesan dapat dimaknai dengan tercapainya suatu tujuan yang paling luhur dan cita-cita yang sudah tidak ada cita-cita lagi sesudahnya, baik bersifat  ruhiyah maupun jasmaniyah.[57] Kata yang paling sesuai dengan ciri-ciri yang telah disebutkan adalah surga dan segala kenikmatannya. Hal yang demikian semakna dengan terpenuhinya janji Allah terhadap orang-orang yang beriman dan bertakwa. Sedangkan kata “selamat” dan “terhindar” dapat dimaknai terhindar dari azab, karena orang yang masuk surga pasti akan terhindar dari siksa neraka.
Asal makna al-Falah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah falaha-yaflahu, yang berarti mengolah dan membajak.[58] Kata tuflihun juga terambil dari kata falaha yang juga digunakan dalam arti bertani. Fallah adalah petani. Penggunaan kata tersebut memberi kesan bahwa seseorang yang melakukan kebaikan, hendaknya jangan segera mengharapkan tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia harus merasakan dirinya sebagai petani yang harus bersusah payah membajak tanah, menanam benih, menyingkirkan hama, dan menyirami tanamannya lalu harus menunggu hingga memetik buahnya.[59]
Dalam mencapai tujuan-tujuan jangka panjang (akhirat), seseorang harus bekerja keras dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, sedangkan bagi yang ingin mencapai tujuan-tujuan duniawi, harus melakukan perencanaan dan persiapan yang matang untuk direalisasikan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, seseorang juga tak dapat mengabaikan aspek-aspek ukhrawi, sehingga seseorang yang melakukan ikhtiar juga harus berdo’a untuk menyeimbangkan antara ikhtiar manusia dengan kehendak Ilahi.
Mengenai cara-cara yang harus ditempuh untuk mencapai al-Fauz dan al-Falah dapat dilihat pada tabel berikut ini :
No
Al-Fauz
Ayat
Langkah-langkah
1.
QS. An-Naba’ : 31-36
Menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah swt.
Mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah swt.
2.
QS. As-Syams : 9
Mensucikan jiwa
3.
QS. Al-Buruj : 11
Beriman dan beramal shaleh
4.
QS. Al-A’la : 14-15
Mensucikan diri dan mengingat tuhannya (muraqabatullah)
5.
QS. An-Nisa : 73
Berjihad
6.
QS. Al-Hadid : 12
Beriman (memperoleh catatan amal yang baik)
7.
QS. Al-Maidah : 119
Berlaku benar (shidiq)
8.
QS. At-Taubah : 72
Beriman
9.
QS. At-Taubah : 20
Beriman, hijrah, dan jihad
10.
QS. At-Taubah : 88
Beriman dan berjihad
Tabel 5. Langkah-langkah untuk mencapai al-Fauz
No
Al-Falah
Ayat
Langkah-langkah
1.
QS. Al-Mukminun : 1
a.   Beriman
b.   Khusyu’ dalam mengerjakan shalat
c.   Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna
d.  Membersihkan diri dengan menunaikan zakat
e.   Memelihara kemaluan
f.    Memelihara amanat, dan
g.   Menunaikan janji
2.
QS. Al-Hasyr : 9
Lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri dengan niat ikhlas karena Allah (itsar).
3.
QS. Yunus : 77
Beriman pada Allah dan tidak berlaku zalim
4.
QS. Yusuf : 23
Menjaga diri dan tidak berlaku zalim
5.
QS. Al-An’am : 21
Tidak berlaku zalim
6.
QS. Al-Maidah : 90
Menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah
7.
QS. Al-Hajj : 77
a.    Tunduk dan taat kepada Allah.
b.    Beribadah kepada Allah dengan segala apa yang digunakan untuk menghambakan diri pada-Nya.
c.    Berbuat kebaikan yang diperintahkan, seperti bersilaturahim dan berakhlak mulia. 
8.
QS. Al-Maidah : 100
Bertakwa dan menggunakan akal
9.
QS. Al-Maidah : 35
Bertakwa, berjihad, dan mendekatkan diri pada Allah
Tabel 6. Langkah-langkah untuk mencapai al-Falah
Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka menggapai al-Falah itu dipaparkan lebih terperinci daripada langkah-langkah untuk mendapatkan al-Fauz meskipun mempunyai dimensi yang sama, yaitu keimanan dan ketakwaan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara substansi, langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mendapatkan al-Fauz itu sama dengan langkah-langkah untuk mendapatkan al-Falah
D.    Relevansi al-Fauz dan al-Falah dalam Konteks Kekinian serta Langkah-Langkah untuk Menggapainya menurut Tuntunan Al-qur’an
Di zaman sekarang, banyak orang yang berpaham bahwa dimensi-dimensi keberhasilan duniawi itu terpisah dari ikhtiar-ikhtiar yang sifatnya ukhrawi atau ritual-ritual yang berorientasi pada akhirat. Begitupula dengan kemenangan dan keberuntungan yang pada umumnya dimaknai hanya secara dhahir tanpa mengaitkannya dengan unsur-unsur keagamaan, padahal justru nilai-nilai yang sifatnya ukhrawi itulah yang lebih menjanjikan dalam rangka menggapai keduanya.   Oleh karena itulah al-Fauz dan al-Falah yang dijanjikan dalam al-Qur’an berkaitan erat dengan dimensi-dimensi ketakwaan yang merupakan kunci keberhasilan dalam menggapai keduanya, sehingga hal ini menjadi bukti adanya keterkaitan yang erat antara kemenangan dan keberuntungan duniawi dengan  unsur-unsur agama yang bersifat ukhrawi.
Dalam konteks masa sekarang, hampir segala aspek kehidupan menuntut sesuatu yang modern. Relevansi antara al-Fauz dan al-Falah dalam konteks kekinian dapat dimaknai sebagai suatu kemenangan dan keberuntungan duniawi maupun ukhrawi yang diperoleh melalui jalan takwa. Konsep mengenai ketakwaan inilah yang nantinya akan melahirkan langkah-langkah menuju kemenangan dan keberuntungan tersebut dengan tetap menyandang predikat sebagai manusia yang modern.
Dengan menjadi insan yang bertakwa, seseorang akan mampu menggapai kemenangan dan keberuntungan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, langkah-langkah yang harus ditempuh pun dapat diketahui melalui dimensi-dimensi ketakwaan yang didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, mengambil referensi tradisi, dan merumuskannya dengan idiom-idiom modern. Dengan demikian, dapat dirumuskan enam kriteria ketakwaan :
1.      Mampu menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahannya dan mampu merelevansikan  ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dengan realitas masa kini.
2.      Senantiasa menegakkan shalat sebagai realisasi dari pengakuannya terhadap Allah sebagai tuhan (keimanan).
3.      Memiliki iman yang fungsional yang dimanivestasikan melalui aktivitas dan amal shaleh.
4.      Mempunyai visi yang jelas mengenai masa depan yang hendak dibangunnya.
5.      Menangani pekerjaan secara team work yang kompak berlandaskan Ukhuwah Islamiyah.
6.      Mampu menunda kesenangan sesaat demi kesenangan abadi yang hakiki.[60]
Seiring berjalannya waktu, penalaran manusia terhadap masalah-masalah duniawi juga turut mengalami perkembangan. Enam kriteria di atas mencerminkan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seseorang dalam rangka meraih kemenangan dan keberuntungan di dunia maupun di akhirat sesuai dengan konteks yang dibutuhkan di masa kini. Melalui langkah-langkah di atas pula seseorang dapat menjadi manusia modern tanpa harus kehilangan ketakwaan dan keimanannya terhadap Allah swt. Dengan demikian dapat diketahui bahwa aspek-aspek ukhrawi juga berperan penting dalam menentukan keberhasilan dalam aspek duniawinya, keduanya saling berkaitan dan tak dapat terpisahkan.











BAB IV
PENUTUP

Konsep mengenai al-Fauz dan al-Falah telah dipaparkan panjang lebar di atas. Al-Fauz lebih mengarah pada terpenuhinya janji Allah terhadap orang yang beriman dan bertakwa berupa surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya serta mendapat keridhaan-Nya. Di samping itu, al-Fauz juga dapat dimaknai dengan terhindarnya seseorang dari azab baik di dunia maupun di hari akhirat.
Sedangkan al-Falah sering memaparkan bagaimana proses seseorang dalam mendapatkan keberuntungan, tidak dengan serta-merta namun melalui perjalanan dan proses yang panjang yang tak jarang terasa pedih. Seperti halnya seorang petani yang berusaha keras dalam menunggu hasil panen. Sehingga dunia merupakan ladang yang tepat untuk menguji keimanan dan ketakwaaan seseorang.
Memenuhi tuntutan di zaman sekarang, perlu ditemukan langkah-langkah yang sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dalam meraih kemenangan dan keberuntungan, dan satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah jalan takwa. Ketakwaan pun harus dimaknai sesuai dengan konteks masa sekarang tanpa harus mengabaikan arahan-arahan dari al-Qur’an. Dengan demikian, langkah-langkah yang harus ditempuh pun dapat diketahui melalui dimensi-dimensi ketakwaan yang telah dijelaskan di atas.
Demikianlah penelitian ini, diharapkan supaya dapat menjadi sumbangan pengetahuan dan bermanfaat bagi dunia pembelajaran khususnya di Bidang Tafsir. Di samping itu, penelitian ini juga terbuka bagi kritik dan saran yang membangun.
Fastabiqul Khairat!

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Al-Maraghi,  Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) Juz 1-30.

Hamka, Tafsir Al-Azhar.

HM Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Jilid 1-15.

Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar. Kairo: Darul Manar. 1950.Vol.V

Sayyid Quthb. Fi Dzilalil Qur’an. Beirut: Darus Syuruq. 1992.Vol.III

Muhammad Fuad Abdul Baqi.Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil Qur’an al-Karim.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2005)

Ary Ginanjar Agustian. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2001.

Hamka, Tasauf Modern, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987)

Michael Hart. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo. 1985.

Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.2006.cet ke-2.

Syahrin Harahap. Islamy dinamis Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-qur’an dalam Kehidupan Modern di indonesia. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. 1997.cet-1.















[1] Al-Isra’ (17) : 36.
[2] Al-Mulk (67) : 10.
[3] Al-Kahfi (18) : 29.
[4] Al-Baqarah (2) : 286.
[5] Al-Isra’ (17) : 15.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) I:xviii.
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, cet ke-2 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 221.
[8] Ibid, hlm. 65.
[9] Ibid, hlm. 79.
[10] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[11]  Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2005) hlm.705-706.
[12] M. Abdul Qasem. Etika Al-Ghazali: Etika Mejemuk di Dalam Islam.(Bandung: Pustaka 1998)hlm. 6.
[13] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar; Surah Al-Buruj
[14]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1 (Semarang: Toha Putra, 1986) IV: 271.
[15]  Prof. Dr. Hamka, Tasauf Modern, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) Hal.305-306.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) IX: 146.
[17] Michael Hart. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo. 1985. Hlm.33.
[18] Ibid, hlm. 34.
[19] Ary Ginanjar Agustian. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2001. Hlm.146

[20] Ibid, hlm. 147.
[21] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[22] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2005) hal.705-706.
[23] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),  X: 256.
[24] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1 (Semarang  : Toha Putra, 1986) II: 62.
[25]  Dikutip dari tulisan Ghofar Ismail S.ag, M.ag yang berjudul Kunci Kesuksesan di Majalah Suara Muhammadiyah.
[26]  Ary Ginanjar Agustian. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2001. Cet-1. Hlm.255. 
[27] Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:Pustaka Progressif.1997. cet-14
[28]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) XV: 20-22.
[29]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) XXI: 27.
[30]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) XV: 300-301.
[31] Ibid, XV: 160.
[32] Al-Ma’un (107): 5-6.
[33]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) XV: 218-219.
[34]  Ibid, V: 147.
[35]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) XXVII: 312.
[36] Ayat ini menjelaskan tentang perbedaan antara penghuni surga dan neraka, penghuni surga selalu berada dalam curahan rahmat dari Allah dan mendapatkan apa yang mereka damba-dambakan, sedangkan penghuni neraka yang selalu berada dalam keadaan merugi dan tersiksa. Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) XXVII: 312.
[37] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) III:256.
[38]  Ibid, V: 652.
[39] Sayid Quthb. Fi Dzilalil Qur’an. Beirut: Darus Syuruq. 1992.III:1614.
[40]  Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar. Kairo: Darul Manar. 1950. V:259.
[41]  Sayid Quthb. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an. Beirut: Darus Syuruq. 1992.III:1684.
[42]  Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar. Kairo: Darul Manar. 1950. X:675.
[43]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986), XVIII:3-7.
[44]  Al-Baqarah (2) : 62 Ayat ini berisi penganugerahan nikmat dan pahala bagi siapapun yang beriman pada Allah dan hari akhir, serta mengerjakan kebajikan (amal shaleh). Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986), XVIII:3-7.
[45] Al-Baqarah (2) : 177 Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang beriman kepada Allah sekaligus melaksanakan segala perintah-Nya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa untuk menjadi orang yang bertakwa, mereka juga harus menunaikan zakat, memerdekakan budak, menepati janji, dan bersabar, yang kesemuanya itu merupakan amal shaleh yang akan mengantarkan mereka pada puncak ketaatan tertinggi, yaitu takwa.
[46]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) XIV: 115.
[47] Ibid, XIV: 117.
[48]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986), XI: 71.
[49]  Ibid, VII: 158.
[50]  Ibid, IV: 51-52.
[51] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986), hlm. 57.
[52]  Ibid, XVII: 252.
[53] Ibid, III: 215.
[54] Ibid, III: 214.
[55] Ibid, III: 87.
[56] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[57]  Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1 (Semarang: Toha Putra, 1986) IV: 271.
[58] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[59] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) IX: 132
[60] Syahrin Harahap. Islam dinamis Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-qur’an dalam Kehidupan Modern di indonesia. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. 1997.cet-1 hal. 110. Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1 (Semarang: Toha Putra, 1986) IV: 271.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar