BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia adalah
makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan memiliki berbagai potensi yang
mengagumkan. Allah membekali manusia dengan fitrah supaya mereka dapat
merasakan ketauhidan, dengan indera supaya dapat mencari kebenaran[1],
dengan akal supaya dapat membedakan antara yang haq dan yang batil[2],
juga hak ikhtiar untuk menerima atau menolak hidayah.[3]
Selama ini, Allah hanya membebankan kepada mereka hal-hal yang sanggup
dikerjakannya.[4] Oleh
karena itulah tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk tidak taat pada perintah
dan larangan-Nya.
Di sisi lain,
kepada mereka telah diutus seorang Rasul, diturunkan kitab suci, dan
disampaikan dakwah Islam untuk membimbing mereka pada hidayah Allah.[5]
Namun setelah Rasul wafat, tidak ada lagi yang dapat memberikan pencerahan,
kecuali apa yang telah tertera dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan untuk
mendapatkan pemahaman yang benar perlu penafsiran yang relevan namun tidak
melunturkan prinsip-prinsip yang ada. Oleh karena itulah para mufasir dituntut
untuk menjelaskan nilai-nilai tersebut sejalan dengan perkembangan
masyarakatnya, sehingga al-Qur’an benar-benar berfungsi sebagai petunjuk,
pemisah antara yang haq dan bathil, serta jalan keluar bagi setiap problema
hidup yang dihadapi.[6]
Di zaman yang
serba modern ini banyak manusia yang menempuh cita-citanya dengan jalan yang
tak lazim menurut agama. Banyak suap-menyuap yang dilakukan demi tercapainya
suatu jabatan tertentu, merampas suatu aset, atau mengeksplorasi sesuatu yang
bukan haknya. Cara yang paling musykil pun ditempuh untuk memenuhi
hasrat-hasrat dunia yang dinilai akan lebih mudah tercapai dengan bergantung
pada seorang dukun. Dalam kondisi yang seperti inilah manusia terpuruk dan
rusak akhlaknya. Mereka berlomba-lomba mendapatkan keberuntungan dan kemenangan
dunia dengan mengabaikan nilai-nilai yang telah digariskan oleh agama. Bagi
mereka, realitas yang semakin menggila ini menjadi alasan untuk menghalalkan
segala cara demi memenuhi kepentingan pribadi. Yang menjadi pertanyaan,
keberuntungan dan kemenangan yang seperti inikah yang selayaknya harus digapai
?
Kemenangan (al-Fauz)
dan keberuntungan (al-Falah) merupakan dua hal yang paling didambakan
oleh setiap manusia. Kehidupan dunia menjadikan hidup seseorang menjadi
sejahtera karena mendapatkan apa yang dicita-citakannya, sedangkan cita-cita
kemenangan akhirat menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih damai di dunia
serta mendapatkan jaminan kelak di akhirat. Dan kebanyakan manusia telah
terperangkap dalam kemaksiatan yang berkepanjangan karena mengabaikan
kemenangan dan keberuntungan akhirat yang pada hakikatnya lebih menjanjikan.
Supaya tidak
tersesat dalam pemahaman yang keliru, diperlukan suatu konsep yang tepat serta
didasari pemahaman yang benar dalam al-Qur’an mengenai keberuntungan dan
kemenangan itu sendiri. Pemahaman yang benar itu akan menjadi lebih sempurna
dengan menggali gagasan para ulama yang tertuang dalam karya-karya mereka di
bidang tafsir. Dengan demikian, sangatlah perlu diadakan penelitian ini.
B. Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang timbul adalah :
1. Bagaimanakah
konsep al-Fauz dan al-Falah dalam al-Qur’an?
2. bagaimanakah
relevansi tafsir al-Fauz dan al-Falah dalam konteks kekinian ? Bagaimana pula langkah-langkah yang harus
ditempuh untuk menggapai keduanya
menurut tuntunan al-Qur’an ?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah :
a. Untuk
menemukan konsep al-Fauz dan al-Falah dalam al-Qur’an.
b. Untuk
mengetahui relevansi tafsir al-Fauz dan al-Falah dalam konteks
kekinian sekaligus merumuskan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
menggapai keduanya menurut tuntunan
al-Qur’an.
2. Kegunaan
Penelitian
a. Secara
Teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memperkaya referensi di bidang keilmuan khsusunya di
bidang tafsir. Di samping itu, diharapkan dapat mengkaji sebuah konsep di
antara banyak konsep yang telah ada dalam al-Qur’an demi memperdalam pemahaman
dan ilmu.
b. Secara
Praktis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberi gambaran yang jelas bagi siapa saja yang ingin
mengetahui hal-hal yang mengantarkan pada kemenangan yang dapat diperoleh di
dunia maupun di akhirat melalui pembahasan-pembahasan al-Fauz dan al-Falah
yang telah dipaparkan dalam
al-Qur’an.
D. Metode
Penelitian
Di
antara metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dipaparkan
sebagai berikut :
1. Jenis
Penelitian
Bentuk
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (documentary study)[7],
sehingga data-data yang digunakan berasal dari sumber-sumber kepustakaan yang
berupa buku, artikel, dan lain sebagainya. Oleh karena itulah penelitian ini
termasuk jenis penelitian analitik kualitatif yang membutuhkan penggalian dan
pendalaman data-data yang terkait untuk menemukan jawaban yang terdapat dalam
rumusan masalah.[8] .
2. Sumber
Data
Sumber
data penelitan ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sekunder.
Sumber primer merupakan berita utama yang sesuai dengan bahasan yang dikaji,
dalam hal ini adalah kitab-kitab tafsir. Sedangkan sumber data sekunder adalah
data-data yang diperoleh selain sumber primer. Di samping itu, untuk memudahkan
pencarian ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan, peneliti menggunakan kitab al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadhil Qur’an al-Karim karya Muhammad Fuad Abdul
Baqi sebagai pegangan.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, dengan mengumpulkan
berbagai informasi yang diperoleh dari sumber primer dan sekunder. Setelah itu
dilakukan analisis dan klarifikasi terhadap data-data yang telah ada.
4. Analisis
Data
Dalam proses analisis
data, penulis menggunakan metode :
a. Metode
Deskriptif
Dalam
penelitian ini digunakan metode deskriptif dimana peneliti akan mendapatkan
gambaran umum secara sistematis mengenai isi atau dokumen melalui pengkajian
secara apa adanya terhadap data-data kualitatif yang telah ada, kemudian
diklarifikasikan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk menjelaskan
pokok-pokok penting terkait dengan konsep al-Fauz dan al-Falah dalam al-Qur’an.
b. Metode
Interpretasi
Metode
ini berusaha mengungkapkan makna-makna yang dituturkan oleh mufasir untuk
merumuskan konsep yang lebih menyeluruh mengenai objek tertentu yang sedang
diteliti, dalam hal ini adalah kata al-Fauz dan al-Falah .
c. Metode
Komparasi
Metode
komparasi (perbandingan)[9]
dilakukan dengan membandingkan antara
satu objek penelitian dengan objek lain untuk memperoleh informasi penengah
yang dibutuhkan oleh peneliti. Melalui metode ini, peneliti akan dapat
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan mufasir.
E. Sistematika
Pembahasan
Penelitian
risalah ini disusun dengan uraian-uraian yang sistematis untuk memudahkan
pengkajian dan pemahaman terhadap permasalahan yang ada. Adapun sistematika
dalam penulisan risalah ini adalah sebagai berikut :
Bab
I pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab
II berisi landasan teori mengenai al-Fauz dan al-Falah yang memuat pengertian secara etimologi dan
terminologi.
Bab
III merupakan pembahasan dan analisis yang menjelaskan konsep al-Fauz dan
al-Falah menurut para mufasir,
kemudian diuraikan dalam berbagai bentuk, serta relevansi penafsiran mereka
dalam konteks kekinian. Setelah itu akan dipaparkan konsep al-Fauz dan al-Falah
yang dibangun dari kolaborasi
gagasan antara para mufasir di atas.
Sedangkan pada
bab terakhir, yaitu bab IV adalah kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dan
saran yang perlu disampaikan terkait dengan permasalahan yang diteliti, setelah
itu diakhiri dengan daftar pustaka yang memuat beberapa referensi yang
digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian.
BAB
II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
al-Fauz
Secara etimologi, al-Fauz merupakan
bentuk masdar dari kata kerja faza-yafuzu, yang berarti
“memperoleh kemenangan”, “kesuksesan”, “selamat”, dan “terhindar”.[10]
Bentuk lain seperti faizun berarti orang yang memperoleh kemenangan atau
hal yang menggembirakan.[11]
Walaupun dalam al-Qur’an banyak ditemukan akar kata dari fauz, namun
hanya sekali dalam bentuk tunggal personal pertama (afuzu) yakni hanya
dalam QS. An-Nisa (4) ayat 73.
Sedangkan secara terminologi,
terdapat beberapa definisi yang diajukan oleh beberapa tokoh :
Menurut Al-Ghazali, kemenangan yang
hakiki adalah kebahagiaan akhirat yang menjadi tujuan akhir manusia.
Kebahagiaan yang dimaksud adalah kenikmatan surga, yang mempunyai empat ciri,
yaitu :
1. Kekal
tanpa akhir
2. Gembira
tanpa duka cita
3. Pengetahuan
tanpa kebodohan dan kaya tanpa kemiskinan.
4. Sempurna
tanpa kekurangan dan kemuliaan tanpa kehinaan[12]
Menurut Hamka, al-Fauz adalah
kemenangan jiwa
Mu'minin dan Mu'minat mengatasi cobaan di kala hidup; menang Mu'minin dan
Mu'minat mengatasi debar-debar jantungnya karena ketakutan, lalu
dipadukannyalah takutnya itu, hanya kepada Allah. Kemenangan disini bermakna kebebasan jiwa orang-orang mukmin dalam
menghadapi siksaan dari orang kafir. Mereka mampu mengesampingkan rasa takut
dan pedih dalam menahan siksa semata-mata karena ingin menegakkan agama Allah.[13]
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, al-Fauz
adalah tercapainya suatu tujuan yang paling luhur dan cita-cita yang sudah
tidak ada cita-cita lagi sesudahnya, baik bersifat ruhiyah maupun jasmaniyah.[14]
Penjara merupakan salah satu tempat yang
sarat akan celaka dan hinaan, namun bagi sebagian orang yang dianugerahi
kesadaran ruhiyah yang tinggi tidak serta merta berasumsi sedemikian rupa.
Seperti perkataan Ibnu Taimiyah :
“Bahwasannya
di dunia ini ada suatu surga. Barangsiapa yang belum pernah menempuhnya,
tidaklah dia akan menempuh syurga yang di akhirat.
Apakah
yang akan dilakukan musuh-musuhku kepadaku ? surga dan jannahku ada di dalam
dadaku. Kemanapun ia pergi ia kan ikut dengan daku. Jika kau dimasukkan
orang-orang ke penjara, adalah itu khalwatku. Kalau aku diusir dari negeriku,
itu gantiku bertamasya.
Jikalau
aku keluarkan emas sepenuh benteng tempat aku dipenjarakan itu, akan jadi
derma, belum juga dapat aku hargai kesyukuranku kepada tuhan lantaran, lantaran
nikmat-Nya yang begini.
Aku
bukan terpenjara, sebab orang yang terpenjara adalah orang yang dipenjarakan
hatinya di tengah perjalanan mencari Tuhannya. Aku bukan tertawan ialah yang
ditawan oleh hawa nafsunya.”
Adapun kata jannah (surga) yang
dimaksud adalah surga yang ada dalam hati (dada). Tentu yang dimaksud disini
bukanlah senyatanya dimana surga adalah tempat beribu kenikmatan tanpa cela,
namun yang dimaksud adalah kesadaran dan kekayaan ruhiyah yang mampu membuat
seseorang selalu bersyukur dan ridha kepada setiap keadaan yang menimpanya.
Oleh karena itu, wajarlah bila orang yang tidak memiliki jannah dalam
hati takkan merasakan jannah di akhirat, karena tanpa rasa syukur dan
ikhlas mustahil seseorang dapat beramal dan beribadah dengan khusyuk kepada
Allah.[15]
Orang
yang memperoleh kemenangan dan keberuntungan akan merasakan kebahagiaan,
sedangkan kebahagiaan ada yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Kebahagiaan
duniawi menurut Ar-Raghib al-Asfahani adalah memeroleh hal-hal yang
menjadikan hidup duniawi nyaman, antara lain berupa kelanggengan hidup,
kekayaan dan kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi meliputi empat hal, yaitu
wujud yang langgeng tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa
kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan.[16]
Menurut
Michael Hart, “Kemenangan hakiki adalah seperti yang diperoleh oleh Muhammad.
Muhammad tidak hanya memimpin agama semata, tetapi juga pemimpin duniawi.
Dialah, Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih
sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun lingkup
duniawi”.[17] Katanya
lagi, “Fakta menunjukkan, selaku pendorong terhadap gerak penaklukkan yang
dilakukan oleh Bangsa Arab (muslimin), pengaruh kepemimpinan politiknya berada
dalam posisi terdepan sepanjang waktu.”[18]
Menurut
Ary Ginanjar Agustian, kemenangan itu hanya akan dicapai bila ada sikap
proaktif yang disertai prinsip yang benar, dan konsep visi yang berorientasi
pada siklus yang sesungguhnya, yaitu
‘hari kemudian’.[19] Kata
beliau, “Berikan yang terbaik di dunia, maka niscaya kemenangan akan diraih,
baik di dunia dan di hari kemudian, sebagaimana intisari dari puisi Hasan
al-Bashri ketika Rasulullah saw masih hidup :
Aku
tahu, rizqiku tak mungkin diambil oleh orang lain
Karenanya
hatiku tenang
Aku
tahu, amal-amalku tak mungkin dilakukan orang lain
Maka,
aku sibukkan diriku bekerja dan beramal
Aku
tahu, kematian menantiku
Maka,
kupersiapkan bekal untuk berjumpa dengan Rabbku”.[20]
B. Definisi
al-Falah
Al-Falah merupakan bentuk
masdar dari kata kerja falaha-yaflahu, yang berarti mengolah dan
membajak.[21] Bentuk
lain seperti faizun berarti orang yang memperoleh kemenangan atau hal
yang menggembirakan.[22]
Adapun
secara terminologi, terdapat beberapa definisi dari para tokoh :
Menurut M. Quraish Shihab, al-Falah berarti
memperoleh apa yang diinginkan, atau dengan kata lain kebahagiaan. Seseorang
baru bisa merasakan bahagia jika mendapatkan apa yang diinginkan. Akan
tetapi, sesuatu yang dianggap sebagai
kebahagiaan tidak akan menjadi kebahagiaan kecuali jika ia merupakan sesuatu
yang didambakan serta sesuai dengan kenyataan dan substansinya.[23]
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, al-Falah (keberuntungan)
adalah tercapainya tujuan yang dicita-citakan, berkat ilham yang diberikan
Allah pada orang-orang yang bertakwa untuk menuju jalan keberhasilan.[24]
Menurut Syekh Ibnul Qayyim: “Orang yang beruntung
sejati adalah orang setiap kali ia bertambah ilmunya, maka bertambah sifat
tawadlu’ dan kasih sanyangnya, setiap kali bertambah amalnya, bertambah pula
rasa takut dan kewaspadaannya, setiap kali bertambah umurnya, maka berkuranglah
kerakusannya kepada dunia”.[25]
Menurut John C. Maxwell, orang yang paling beruntung
adalah mereka yang mempunyai visi, mengejarnya, dan membantu orang lain untuk
melihatnya (pemimpin). Orang yang memiliki visi lalu mengejarnya, mereka lebih
senang membicarakan tentang masa depan, berpikir positif, tampak aktif, dan
senantiasa bersemangat. Mereka tahu ke arah mana harus melangkah, apa yang
harus dikerjakan, dan selalu berorientasi pada masa depan. Hasilnya, adalah
sesuatu yang luar biasa karena mereka selalu memikirkan rencana untuk masa
depan.[26]
BAB III
ANALISIS
A. Al-Fauz dan al-Falah
dalam Al-qur’an
Kata al-Fauz dan
al-Falah banyak disebut dalam al-Qur’an. Penyebutan al-Fauz beserta
derivasinya berjumlah 27 kali, sedangkan al-Falah 33 kali. Mengenai data
kuantitas lafadz al-Fauz dan al-Falah akan dirinci dalam tabel
berikut[27]
:
Kata
|
Bentuk
|
Kata Arti
|
Jml.
|
افلح
|
Fi’il Madhi
|
Berhasil, memperoleh
yang dicari
|
4
|
تفلح
يفلح يفلحون تفلحون
|
Fi’il Mudhari’
|
Mendapat
keberuntungan
|
23
|
المفلحون المفلحين
|
Isim Fa’il
|
Orang yang
beruntung
|
6
|
33
|
|||
Kata
|
Bentuk
|
Kata
Arti
|
Jml.
|
فاز
|
Fi’il
Madhi
|
Menang,
berhasil
|
1
|
الفوز
|
Masdar
|
Kemenangan
|
19
|
الفائزون
|
Isim
Fa’il
|
Pemenang,
juara
|
4
|
مفازا مفازة
|
Masdar
|
kemenangan atau
keselamatan
|
3
|
27
|
Tabel
1. Data Kuantitas Lafadz Al-Fauz dan al-Falah dalam Al-qur’an
Keterangan :
1.
افلح : QS. Thaha (20) ayat 64 ; QS. Al-Mukminun
(23) ayat 1 ; QS. Al-A’la (87) ayat 14 dan QS. As-Syams (91) ayat 9.
2.
تفلح
يفلح يفلحون تفلحون :
QS.
Al-Kahfi (18) ayat 20 ; QS. Al-Baqarah (2) ayat 189 ; QS. Ali Imran (3) ayat
130 ; QS. Ali Imran (3) yat 200 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 35 ; QS. Al-Maidah (5)
ayat 90 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 100 ; QS. Al-A’raf (7) ayat 69 ; QS. Al-Anfal
(8) ayat 45 ;QS. Al-Hajj (22) ayat 77 ; QS. An-Nur (24) ayat 31 ; QS.
Al-Jumu’ah (62) ayat 10 ; QS. Al-An’am (6) ayat 21 ; QS. Al-An’am (6) ayat 135
; QS. Yunus (10) ayat 17 ; QS. Yunus (10) ayat 77 ; QS. Yusuf (12) ayat 23 ; QS.
Thaha (20) ayat 69 ; QS. Al-Mukminun (23) ayat 117 ; QS. Al-Qashas (28) ayat 37
; QS. Al-Qashas (28) ayat 82 ; QS. Yunus (10) ayat 69 dan QS. An-Nahl (16) ayat
116.
3.
المفلحون
المفلحين
:
QS.
Luqman (31) ayat 5 ; QS. Al-Mujadilah (58) ayat 22 ; QS. Al-Hasyr (59) ayat 9 ;
QS. At-Taghabun (64) ayat 16 ; QS. Al-Qashas (28) ayat 67 dan QS. Al-Baqarah
(2) ayat 5.
4.
فاز : QS. Ali Imran (3) ayat 185
5.
الفوز : QS. Al-Ahzab (33) ayat 71 ; QS. An-Nisa
(4) ayat 73 ; QS. An-Nisa (4) ayat 13 ; QS. Al-Maidah (5) ayat 119 ; QS.
Al-An’am (6) ayat 16 ; QS. At-Taubah (9) ayat 72 ; QS. At-Taubah (9) ayat 89 ; QS.
At-Taubah (9) ayat 100 ; QS. At-Taubah (9) ayat 111 ; QS. Yunus (10) ayat 64 ; QS.
As-Shafat (37) ayat 60 ; QS. Al-Mukmin (40) ayat 9 ; QS. Ad-Dukhan (44) ayat 57
; QS. Al-Jatsiyah (45) ayat 30 ; QS. Al-Hadid (57) ayat 12 ; QS. As-Shaf (61)
ayat 12 ; QS. At-Taghabun (64) ayat 9 ; QS. Al-Buruj (85) ayat 11 dan QS.
Al-Fath (48) ayat 5.
6.
الفائزون : QS. At-Taubah (9) ayat 20 ; QS.
Al-Mukminun (23) ayat 111 ; QS. An-Nur (24) ayat 52 dan QS. Al-Hasyr (59) ayat
20.
7.
مفازا مفازاة : QS.
An-Naba’ (78) ayat 31 ; QS. Ali Imran (3) ayat 188 dan QS. Az-Zumar (39) ayat
61.
B. Tafsir
Al-Fauz dan al-Falah dalam Al-qur’an
Melalui
data di atas, dapat diketahui bahwa banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang
membahas tentang al-Fauz dan al-Falah, di antaranya akan dibahas
sebagaimana berikut ini :
1.
QS. An-Naba’ (78)
ayat 31-36
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا 31 حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا 32 وَكَوَاعِبَ
أَتْرَابًا 33 وَكَأْسًا دِهَاقًا 34 لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا
كِذَّابًا 35 جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا 36
Artinya
: Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) kebun-kebun dan buah
anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi
minuman), Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak
(pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang
cukup banyak.
Mafazan pada ayat di atas
dapat berarti kemenangan atau tempat dan waktunya. Keterangan pada ayat
selanjutnya menandakan bahwa keberuntungan yang dimaksud adalah kenikmatan surga
yang berupa kebun yang berisi aneka ragam tumbuhan yang menghasilkan
buah-buahan lezat, pemandangan yang indah serta aroma yang harum (hadaiq),
para gadis remaja yang sebaya umurnya (kawa’ib atraban), dan gelas-gelas
yang berisi penuh minuman surga (ka’san dihaqa). Di samping itu penghuni
syurga juga akan terhindar dari laghwan, yaitu hal-hal yang tidak
terlarang namun tidak ada manfaatnya, dan dusta. Itulah ganjaran yang
dianugerahkan oleh Allah untuk para penghuni surga yang jumlahnya jauh lebih
besar daripada amal-amal kebajikan yang telah mereka perbuat.[28]
Ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang-orang yang
beruntung adalah mereka yang takut melanggar apa-apa yang telah diharamkan
Allah dan takut pada siksa-Nya. Orang yang bertakwalah yang kelak akan
mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan di sisi Allah berupa surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai.
Sehingga dapat diketahui bahwa takwa mempunyai
beberapa dimensi :
a.
Menjauhi hal-hal
yang dilarang oleh Allah swt.
b.
Mengerjakan
hal-hal yang diperintahkan oleh Allah swt.[29]
Terpenuhinya dua dimensi itulah yang
menyebabkan seseorang dapat merasakan keberadaan Allah yang sedang terus
mengawasinya (muraqabatullah). Orang yang bertakwa akan selalu
berhati-hati dalam setiap tindakannya karena tahu dan yakin bahwa dirinya tak
akan luput dari pengawasan Allah. Dan tak hanya
cukup dengan iman, karena orang yang beriman pun masih diperintahkan
untuk bertakwa, sebagaimana termaktub dalam QS. Ali Imran (3) ayat 102 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ
إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya : 102. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
2.
QS. As-Syams
(91) ayat 9-10
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا 9
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا 10
Artinya : Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.
Keberuntungan pada ayat di atas dimaknai
dengan memperoleh apa yang diharapkan yang kelak akan melahirkan kebahagiaan. Sedangkan
orang yang mendapatkan keberuntungan adalah orang yang disucikan jiwanya oleh
Allah, dan orang orang yang dibiarkan oleh Allah larut dalam kekotoran dirinya,
itulah yang akan merugi. Menurut al-Biqa’i, kesucian jiwa itu dapat diraih
dengan memperhatikan tuntunan kenabian serta tuntunan para ulama yang
mengamalkan tuntunan Allah. Di sisi lain, orang yang mengingkari tuntunan-tuntunan
itulah yang pada hakekatnya dibiarkan oleh Allah dalam keadaan kekotoran
jiwanya yang menyebabkan dirinya merugi.[30]
3.
QS. Al-Buruj
(85) ayat 11
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
Artinya : Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh bagi mereka surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.
Menurut keterangan ayat di atas,
yang dimaksud dengan keberuntungan adalah kenikmatan surga. Surga inilah yang
diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Konteks ayat
ini menggambarkan keadaan pada masa jahiliyah dan periode Mekah banyak sahabat
Nabi yang mengalami penyiksaan dan
penganiayaan dari orang-orang kafir. Nama-nama seperti Abu Jahal, Umayyah bin
Khalaf, Shafwan bin Umayah, al-Walid bin Mughirah, dan lainnya tercatat sebagai
tokoh-tokoh penganiaya. Di sisi lain, nama-nama seperti Bilal bin Rabbah, Amar
bin yasir, dan lain-lain tercatat sebagai kelompok yang teraniaya. Orang-orang
seperti itulah yang digambarkan akan mendapatkan surga dan segala
kenikmatannya.[31]
4.
QS. Al-A’la (87)
ayat 14-15
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى 14 وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى15
Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.
Keberuntungan
yang dimaksudkan disini adalah memperoleh apa yang diharapkan yang berupa
kebahagiaan. Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, kebahagiaan itu terbagi menjadi
dua, yaitu kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi mencakup usia
panjang, kekayaan, dan kemuliaan, sedangkan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa
kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan
tanpa kebodohan.
Di antara
kriteria orang yang akan mendapatkan keberuntungan adalah orang-orang yang
membersihkan diri dan ingat pada tuhannya. Membersihkan diri disini bukan
berarti sekedar membayar zakat, namun juga menunaikan shalat, karena keduanya
itu saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan.[32]
Sedangkan orang yang mengingat tuhannya adalah orang yang mengambil manfaat
dari peringatan-peringatan Allah dan selalu menyadari kehadiran Allah (muraqabatullah).
Dengan memenuhi kedua kriteria tersebut, maka seseorang akan mendapatkan
keberuntungan sebagaimana digambarkan oleh ayat ini.[33]
5.
QS. An-Nisa (4)
ayat 73
وَلَئِنْ
أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ الله لَيَقُولَنَّ كَأَن لَّمْ تَكُن بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيتَنِي كُنتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزاً عَظِيماً
Artinya : Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah,
tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang
antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu
saya mendapat kemenangan yang besar (pula)."
Ayat
di atas menerangkan bahwa kaum munafik adalah mereka yang apabila orang mukmin
ditimpa musibah, terbunuh, atau kalah, mereka akan bersyukur karena tidak ikut
berperang. Dan apabila orang-orang mukmin mendapatkan kemenangan, mereka akan
menyesali sikap mereka yang tidak ikut berperang, karena yang menjadi keinginan
mereka hanyalah nikmat duniawi yang jauh dari kemenangan yang bersifat fana.[34]
Sehingga
yang dimaksud kemenangan dalam ayat tersebut adalah kemenangan orang-orang
mukmin dalam perang yang diingini oleh orang-orang munafik. Ini baru kemenangan
yang mereka sesali di dunia, dan yang lebih menyedihkan adalah penyesalan
mereka karena tidak diselamatkan dari azab seperti rang-orang mukmin.
6.
QS. Al-Hadid
(57) ayat 12
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُم بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِم
بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya
: (yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin
laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): "Pada hari ini ada berita
gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang
kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar."
Keberuntungan
dalam ayat di atas adalah kenikmatan surga yang dianugerahkan kepada
orang-orang yang beriman yang mempunyai catatan amal yang baik, sedangkan
orang-orang munafik masih berharap untuk mendapatkan sebagian cahaya dari
orang-orang beriman untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan dan azab yang
sedang mereka hadapi. Namun ternyata hanya penyesalan yang mereka dapatkan
karena seseorang itu hanya akan selamat karena amalnya sendiri.[35]
Adapun ayat yang serupa adalah QS. Al-Hasyr (59) ayat 20.[36]
7.
QS. Al-Maidah
(5) ayat 119 :
قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ
يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya
: 119. Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya;
Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar."
Al-Fauz
dalam ayat di atas mempunyai dua dimensi makna, yaitu kenikmatan surga dan keridhaan yang
diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu benar dan jujur. Mereka tidak
ternodai oleh kebatilan dan tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan
kebenaran, kemudian kebenaran itu mendarah daging dalam diri mereka. Kenikmatan surga itulah yang akan mereka
nikmati selama-lamanya yang tak terbatas pada kenikmatan materi saja. Di sisi
lain, ada kenikmatan ruhiyah yang lebih tinggi, yaitu keridhaan dari Allah swt
yang mereka sambut pula dengan keridhaan terhadap-Nya, inilah yang dinamai
dengan keberuntungan yang besar.[37]
8.
QS. At-Taubah
(9) ayat 72
وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ
ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya
: Allah menjanjikan kepada orang-orang
mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang
bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah
keberuntungan yang besar.
Menurut ayat di atas, kemenangan yang besar adalah
mendapatkan bukti janji Allah berupa surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, tempat yang nyaman di surga ‘Adn, dan mendapatkan
keridhaan dari Allah swt.
Kata ‘Adn berarti kemantapan dan kekekalan.
Ada yang memahami bahwa ‘Adn adalah salah satu nama tingkatan surga.
Jika demikian, maka orang yang dimasukkan ke dalam surga akan mantap hatinya
dan hidup kekal dalam surga.
Sedangkan kata ridhwanun, diambil dari kata ridha.
Bagi manusia, ridha adalah kepuasan hati. Kata tersebut pada ayat ini tertera
dalam bentuk nakirah/indifinit. Ini berarti bahwa keridhaan Allah sedemikian
besar, agung, dan beraneka ragam sehingga tak terjangkau besar dan agungnya
oleh manusia. Selanjutnya terbaca dan terdengar dari ridhwaanun adalah
bunyi nun mati pada akhirnya (tanwin). Itu dipahami dalam arti kecil, atau
sedikit, sehingga pada akhirnya ayat ini bermaksud menyatakan –wallahu a’lam-
bahwa keridhaan Allah walau sedikit lebih baik dan agung daripada surga dan
tempat tinggal nyaman di sana.[38]
Memang bisa saja seseorang memberikan
kepada seseorang anugerah yang besar, tetapi hatinya belum tentu rela dan puas
terhadapnya. Ketika itu, boleh jadi ia menikmatinya tetapi masih terasa
ganjalan dalam hati. Sebaliknya, boleh jadi seseorang tidak menerima banyak
dari pihak lain, tetapi jika ia merasa ridha terhadapnya, maka sedikitpun dari
anugerahnya bahkan boleh jadi tanpa anugerah yang lain, dia telah merasa nyaman.
Ini karena kebahagiaan bukan terletak pada materi yang diperoleh, namun pada
hati yang memperoleh
nya.
Sehingga sesuatu yang kecil namun berkenan di hati, lebih utama daripada yang
besar namun sama sekali tidak berkenan di hati. Oleh karena itulah manusia
mendapatkan surga bukan semata karena amalnya, melainkan karena Allah ridha
terhadapnya.
9.
QS. At-Taubah
(9) ayat 20
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya : 20.
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan
harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.
Al-faizun
pada ayat di atas adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan, sedangkan
kemenangan yang dimaksud adalah rahmat dan pahala yang besar dari Allah swt.[39]
Di samping itu, kemenangan disini juga dapat dimaknai dengan pahala keutamaan
dan kemuliaan yang tinggi yang diperuntukkan bagi orang yang berjihad di jalan
Allah. Untuk mendapatkan kemenangan tersebut seseorang harus berjihad melawan
diri sendiri maupun orang-orang kafir. Melawan diri sendiri yakni menaklukkan
hawa nafsu supaya tunduk terhadap perintah Allah, sedangkan melawan orang kafir
dapat melalui perang, dapat pula dimaknai dengan menyumbangkan harta untuk
kepentingan perang, atau melakukan kegiatan dalam berbagai bidang untuk memerangi mereka.[40]
10. QS.
At-Taubah (9) ayat 88
لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ
آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ
الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : 88. Tetapi
Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta
dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Menurut Sayyid Quthb, ayat di atas
menggambarkan tentang tabiat iman yang kuat dan berani menghadapi rintangan,
sehingga keberuntungan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah suatu kejayaan
yang tak dapat diperoleh hanya dengan duduk-duduk saja, sebagaimana yang
diperjuangkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya dengan jiwa dan harta.[41]
Sedangkan menurut Rashid Ridha, keberuntungan tersebut adalah memperoleh
kepemimpinan di dunia sekaligus kebahagiaan di akhirat.[42]
Beberapa pengertian al-Fauz
yang telah dipaparkan dalam kandungan ayat-ayat di atas mempunyai persamaan
pengertian dengan beberapa ayat lain yang sejenis dalam al-Qur’an. Adapun perinciannya
akan dipaparkan sebagaimana berikut ini :
No
|
Makna
Al-Fauz
|
Ayat
|
1.
|
Surga
dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya
|
QS.
An-Naba’ (78):31; QS. Al-Buruj (85) :11;
QS.
Al-Hadid (57):12 ; QS. Al-Hasyr (59) :20;
QS. At-Taubah (9) : 89; QS. Al-Jatsiyah (59) :30; QS. Al-Maidah (5) : 119;
QS. At-Taubah (9): 72;
QS. Ali Imran (3): 185; QS. An-Nisa (4) :
13;
QS.
At-Taubah (9): 100; QS. At-Taubah (9): 111;
QS.
As-Shaffat (37):60; QS. Ad-Dukhan (44): 57;
QS.
At-Taghabun (64): 9; QS. Al-Fath (48): 5
|
2.
|
Mendapatkan
rahmat atau diselamatkan dari azab
|
QS.
Al-Mukmin (40) : 9; QS. Al-An’am (6) : 16;
QS.
At-Taubah (9) :20; QS. Al-Mukminun(23):111
QS.
Al-Ahzab (33) : 71; QS. An-Nur (24) : 52;
QS.
Ali Imran (3) : 188; QS. Az-Zumar (39): 61
|
3.
|
Memperoleh
apa yang diharapkan
|
QS.
As-Syams (91) : 9; QS. An-Nisa (4) : 73;
QS.
Yunus (10) : 64; QS. At-Taubah (9) : 88
|
Tabel
2. Klasifikasi Ayat menurut Kandungan Makna Al-Fauz
Di
bawah ini beberapa ayat yang berkaitan dengan keberuntungan (al-Falah) :
1.
QS. Al-Mukminun
(23) ayat 1-11
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
(1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ
اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4)
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) وَالَّذِينَ هُمْ
لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ
يُحَافِظُونَ (9) أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ
الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)
Artinya : 1.
Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. 2. (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. Dan
orang-orang yang menunaikan zakat, 5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. 7. Barangsiapa yang mencari
dibalik itu, sungguh mereka itulah orang-orang yang meampaui batas. 8. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. 9. Dan orang-orang yang memeihara
sembahyangnya, 10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, 11. (yakni)
yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang yang
berimanlah yang akan mendapatkan keberuntungan. Keberuntungan yang dimaksud
disini adalah memperoleh apa yang diharapkan yang diperoleh dengan kerja keras,
sebagaimana seorang petani yang menanam benih kemudian merawatnya hingga panen
tiba. Hasil yang demikian itu merupakan gambaran dari apa yang diharapkan oleh
orang yang bekerja keras (dalam hal ini adalah petani). Oleh karena itulah,
tidak serta-merta yang beriman itu akan mendapatkan keberuntungan, akan tetapi
mereka harus berusaha keras untuk memenuhi enam sifat lainnya, yaitu :
a. Beriman
b. Khusyu’
dalam mengerjakan shalat
c. Berpaling
dari hal-hal yang tidak berguna
d. Membersihkan
diri dengan menunaikan zakat
e. Memelihara
kemaluan
f. Memelihara
amanat, dan
g. Menunaikan
janji.[43]
Poin b-g dalam perincian di atas merupakan poin amal
shaleh yang belum terangkum dalam keimanan (poin a). Amal shaleh itulah yang
selalu mengiringi keimanan seseorang[44]
dan selalu diperintahkan Allah pada hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, untuk
menggapai keberuntungan, iman saja tidak cukup, namun juga harus melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya, dan inilah yang disebut dengan
takwa.[45]
2.
QS. Al-Hasyr (59)
ayat 9
وَالَّذِينَ
تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ
نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.
Keberuntungan dalam konteks ayat ini
adalah mendapatkan segala yang didambakan, yakni ketika Kaum Anshar menyambut
datangnya Kaum Muhajirin, mereka yang mempunyai sifat-sifat yang tercermin dari
keimanan sejati, dan sifat-sifat itulah yang akan membawa mereka pada
keberuntungan. Sifat yang diunggulkan oleh Allah dalam ayat tersebut adalah itsar
(mengutamakan orang lain melebihi dirinya sendiri).[46]
Kata syuhh juga bermakna
kekikiran yang disertai dengan keinginan yang meluap untuk terus memiliki sesuatu.
Dengan demikian, untuk mendapakan keberuntungan, seseorang itu harus melepaskan
segala keinginan untuk terus mengingini sesuatu, karena menyadari bahwa pada
hakekatnya kepemilikan mutlak itu hanyalah milik Allah semata, sedangkan
manusia hanya boleh raja’ dan ikhtiar, sehingga ketika merasakan
kehilangan pun tidak sampai membutakan hatinya dari rasa ikhlas terhadap apa
yang diingini tersebut karena segala orientasi hidupnya selalu disesuaikan
dengan kehendak Allah.[47]
3.
Yunus (10) ayat
77
قَالَ مُوسَى
أَتَقُولُونَ لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَكُمْ أَسِحْرٌ هَذَا وَلَا يُفْلِحُ
السَّاحِرُونَ (77)
Artinya : Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap
kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir
itu tidaklah mendapat kemenangan."
Ayat
di atas berisi suatu keterangan bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan
keberuntungan dan tidak akan diselamatkan dari azab karena kemusyrikan yang
mereka lakukan. Sebagaimana yang dialami oleh Fir’aun dan para tukang sihir
yang mendustakan mukjizat Nabi Musa a.s. Keberuntungan yang dimaksud disini
adalah kemenangan para tukang sihir yang melawan kemukjizatan Nabi Musa a.s. Oleh
karena itulah mereka tidak akan mendapatkan kemenangan di dunia sekaligus
mendapat azab dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.[48]
4.
QS. Yusuf (12)
ayat 23
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي
بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ
مَعَاذَ اللّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ
الظَّالِمُونَ
Artinya : Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda
Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya
berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung
kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."
Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.
Konteks
ayat tersebut adalah ketika Zulaikha menggoda Nabi Yusuf di dalam rumahnya yang
telah tertutup pintunya. Perempuan itu mengajak Yusuf untuk melakukan perbuatan
yang Allah larang, yaitu zina. Namun, Yusuf tetap pada keteguhan hatinya untuk
menjaga diri dengan berlindung kepada Allah dari segala hal yang
menjerumuskannya pada dosa, sedangkan Zulaikha adalah seorang yang berlaku
zalim dengan mengkhianati suami dan agamanya dengan perbuatan yang rendah dan
hina.
Keterangan
ayat di atas menandakan bahwa Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada
orang-orang yang menganiaya diri sendiri atau menganiaya orang lain dengan
suatu pengkhianatan dan pelanggaran kehormatan orang. Di dunia, dia tidak akan
mencapai imamah atau kepemimpinan, sedangkan di akhirat dia takkan
mendapatkan ridha Allah Ta’ala, atau masuk ke dalam syurga-Nya yang penuh
dengan kenikmatan. Sehingga orang yang beruntung adalah mereka yang kelak akan
mendapatkan surga sekaligus memperoleh keridhaan dari Allah Ta’ala.[49]
5.
QS. Al-An’am (6)
ayat 21
وَمَنْ أَظْلَمُ
مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لاَ
يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
Artinya : Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat
suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya
orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.
Manusia
dituntut untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan sistem yang diciptakan oleh
Allah swt. Bila mereka melakukan pelanggaran, maka kelak akan membinasakan
dirinya sendiri. Manusia juga mempunyai pandangan hidup dan keyakinan yang
dijadikan sebagai dasar untuk mencapai apa yang didambakan. Tidak ada jalan
untuk memperoleh kebahagiaan kecuali melalui jalan ini. Seandainya ia menempuh
jalan lain –menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, atau dengan kata lain
berlaku zalim- maka ia tidak akan mendapatkan apa yang didambakannya. Kalaupun
terlihat ia mencapainya maka itu hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal.
Oleh karena itulah orang yang zalim tidak akan pernah mendapatkan kemenangan di
dunia karena apa yang dilakukannya bertentangan dengan sistem.[50]
6.
QS. Al-Maidah
(5) ayat 90
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ
رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya
: Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Ayat di atas berisi tentang larangan
Allah terhadap orang-orang yang beriman untuk meminum khamr, main judi,
berkurban utuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, karena hal
demikian termasuk perbuatan syetan yang menjerumuskan pada kebinasaan.
Pada intinya, Allah memerintahkan kepada
manusia untuk meninggalkan dan menjauhi perbuatan keji tersebut, seraya
berharap semoga dapat beruntung dengan apa yang diwajibkan atas manusia, berupa
penyucian jiwa, kesehatan badan, dan saling mencintai di antara kalian. Di
samping itu orang yang bertakwa akan selalu berhati-hati dengan tingkah
lakunya, karena selalu merasa diawasi oleh Allah swt (muraqabah). Dengan
demikian, perbuatan yang sia-sia pun akan ditinggalkan juga, terlebih perbuatan
keji.[51]
7.
QS. Al-Hajj (22)
ayat 77
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Pada ayat di atas
diterangkan bahwa cara mencapai kemenangan adalah melalui tangga ketakwaan.
Adapun cara memperolehnya sebagaimana berikut :
a.
Tunduk dan taat
kepada Allah.
b.
Beribadah kepada
Allah dengan segala apa yang digunakan untuk menghambakan diri pada-Nya.
c.
Berbuat kebaikan
yang diperintahkan, seperti bersilaturahim dan berakhlak mulia.
Perintah untuk rukuk dan sujud itu
selayaknya dimaknai dengan perintah untuk tunduk dan taat pada kekuasaan-Nya.
Dalam shalat, sujud merupakan simbol penghambaan tertinggi karena meletakkan
suatu bagian yang paling urgen bagi manusia, yakni akal (yang letaknya ada di
dalam otak) di tempat yang serendah-rendahnya, bahkan disejajarkan dengan kaki.
Dalam hal ini, totalitas penyerahan diri kepada Sang Khalik mencapai puncaknya
dengan menempatkan diri serendah-rendahnya di bawah kekuasaan-Nya yang agung.
Oleh karena itulah, ruku’dan sujud dapat dimaknai juga dengan tunduk dan taat
kepada Allah.[52]
8.
QS. Al-Maidah
(5) ayat 100
قُلْ لَا
يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang
baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada
Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."
Ayat
di atas berisi keterangan bahwa yang mendapatkan keberuntungan adalah para ulul
albab yang dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Al-khabits
adalah sesuatu yang tidak disenangi karena keburukan atau kehinaannya dari segi
material maupun immaterial menurut pandangan akal dan syari’at. Sedangkan ath-thayyib,
termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan dan diperbolehkan oleh syari’at.[53]
Sesuatu yang buruk dalam substansinya, sebab, atau bentuk apapun keburukan
pasti tidak disukai oleh Allah dan Rasu-Nya, dan tidak juga diterima oleh akal
sehat.
Ulul
albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang
tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang yang dapat melahirkan
kerancuan dalam berpikir. Yang merenungkan ketetapan Allah dan melaksanakannya
diharap dapat meraih keberuntungan dan siapa yang menolaknya, mesti ada
kerancuan dalam cara berpikirnya.[54]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mendapatkan keberuntungan
adalah mereka yang menggunakan nalarnya dengan benar (terkait dengan
konsekuensi suatu kebaikan maupun keburukan) sehingga dapat merealisasikan
ketaatannya secara sadar dengan melaksanakan apa yang diperintah oleh Allah dan
menjauhi apa yang dilarang-Nya.
9.
QS. Al-Maidah
(5) ayat 35
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan.
Dalam
ayat di atas dijelaskan pula bahwa orang yang beruntung adalah mereka yang
bertakwa, mencari jalan untuk taqarrub, dan bersungguh-sungguh dalam
berjuang. Keberuntungan yang dimaksud adalah kebahagiaan, kemenangan dan
kejayaan, baik di dunia maupun di akhirat, di samping kelanggengan dalam surga
yang penuh kenikmatan.[55]
Beberapa pengertian al-Falah yang
telah dipaparkan dalam kandungan ayat-ayat di atas mempunyai persamaan pengertian
dengan beberapa ayat lain yang sejenis dalam al-Qur’an. Adapun perinciannya,
sebagaimana berikut ini :
No
|
Makna
Al-Falah
|
Ayat
|
1.
|
Surga
dan keridhaan Allah swt
|
QS.
Al-Mukminun (23):1; QS. Al-Qashas (60) :67; QS. Luqman (31):5 ; QS. Al-Mukminun (23) :102; QS. Al-Hajj
(22) : 77; QS. Ali Imran (3) : 130;
QS.
Al-A’la (87) : 14; QS. Al-Baqarah (2) : 5;
QS.
Al-Mujadilah (58): 22; QS. Al-Baqarah (2):189
|
2.
|
Selamat
dari azab
|
QS.
An-Nahl (16) : 116; QS. yunus (10) : 69;
QS.
Yunus (10) : 17; QS. Yunus (10) : 77
QS.
As-Syams (91) : 9; QS. Al-Qashas (28) : 82;
QS.
Al-Kahfi (18) : 20; QS. An-Nur (24) : 31;
QS.
Al-A’raf (7) : 69; QS. Al-Maidah (5) : 35;
QS.
Al-Maidah (5) : 100; QS. Al-Maidah (5) : 90
QS.
At-Taghabun (64):16; QS. Yusuf (12) : 23
|
3.
|
Kemenangan
duniawi
|
QS.
Al- Qashas (28) : 37; QS. Thaha (20) : 69;
QS. Thaha (20) : 64; QS. Al-Anfal (8)
: 45
|
4.
|
Balasan
yang baik / memperoleh yang didambakan
|
QS.
Al-mukminun (23):111; QS. Al-An’am (6):135;
QS.
Al-Jumu’ah (62): 10; QS. Ali Imran (3) : 200; QS. Al-An’am (6) : 21
|
Tabel 3. Klasifikasi Ayat menurut Kandungan Makna Al-Falah
C. Konsep
al-Fauz dan al-Falah
Pembahasan di atas telah memaparkan
berbagai macam penafsiran mengenai al-Fauz dan al-Falah yang
menghasilkan beberapa makna yang terkumpul dari ayat-ayat yang terkait. Adapun
ringkasannya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
No
|
Makna
al-Fauz
|
Makna
al-Falah
|
1.
|
Surga
dan kenikmatannya
|
Surga
dan keridhaan Allah
|
2.
|
Selamat
dari azab
|
Selamat
dari azab
|
3.
|
Mendapat
rahmat Allah
|
Kemenangan
duniawi
|
4.
|
Memperoleh
apa yang didambakan
|
Memperoleh
apa yang didambakan
|
Tabel 4. Ringkasan Makna al-Fauz
dan al-Falah
Melalui tabel di atas, dapat diketahui
bahwa penggunaan kata al-Fauz dan al-Falah itu hampir sama, yakni
sama-sama mempunyai dua dimensi, yakni jasmani dan ukhrawi. Kenikmatan jasmani
meliputi kemenangan dan keberuntungan yang bersifat duniawi seperti menang
dalam peperangan, mendapatkan apa yang didambakan, dan lain-lain, sedangkan
kenikmatan ukhrawi meliputi kenikmatan surga, ketenangan hati, dan lain-lain.
Asal dari kata Al-Fauz
adalah “memperoleh kemenangan”, “kesuksesan”, “selamat”, dan “terhindar”.[56]
Makna-makna tersebut terbukti relevan dengan berbagai penjelasan yang telah
dikemukakan di atas. Memperoleh kemenangan dan kesuksesan dapat dimaknai dengan
tercapainya suatu tujuan yang paling luhur dan cita-cita yang sudah tidak ada
cita-cita lagi sesudahnya, baik bersifat ruhiyah maupun jasmaniyah.[57]
Kata yang paling sesuai dengan ciri-ciri yang telah disebutkan adalah surga
dan segala kenikmatannya. Hal yang demikian semakna dengan terpenuhinya janji
Allah terhadap orang-orang yang beriman dan bertakwa. Sedangkan kata “selamat”
dan “terhindar” dapat dimaknai terhindar dari azab, karena orang yang masuk
surga pasti akan terhindar dari siksa neraka.
Asal makna al-Falah sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya adalah falaha-yaflahu, yang berarti mengolah dan
membajak.[58] Kata tuflihun
juga terambil dari kata falaha yang juga digunakan dalam arti bertani. Fallah
adalah petani. Penggunaan kata tersebut memberi kesan bahwa seseorang yang
melakukan kebaikan, hendaknya jangan segera mengharapkan tibanya hasil dalam
waktu yang singkat. Ia harus merasakan dirinya sebagai petani yang harus
bersusah payah membajak tanah, menanam benih, menyingkirkan hama, dan menyirami
tanamannya lalu harus menunggu hingga memetik buahnya.[59]
Dalam mencapai tujuan-tujuan jangka panjang
(akhirat), seseorang harus bekerja keras dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya
terhadap Allah, sedangkan bagi yang ingin mencapai tujuan-tujuan duniawi, harus
melakukan perencanaan dan persiapan yang matang untuk direalisasikan dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, seseorang juga tak dapat mengabaikan
aspek-aspek ukhrawi, sehingga seseorang yang melakukan ikhtiar juga harus
berdo’a untuk menyeimbangkan antara ikhtiar manusia dengan kehendak Ilahi.
Mengenai cara-cara yang harus ditempuh
untuk mencapai al-Fauz dan al-Falah dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
No
|
Al-Fauz
|
|
Ayat
|
Langkah-langkah
|
|
1.
|
QS.
An-Naba’ : 31-36
|
Menjauhi hal-hal yang
dilarang oleh Allah swt.
Mengerjakan
hal-hal yang diperintahkan oleh Allah swt.
|
2.
|
QS.
As-Syams : 9
|
Mensucikan
jiwa
|
3.
|
QS.
Al-Buruj : 11
|
Beriman
dan beramal shaleh
|
4.
|
QS.
Al-A’la : 14-15
|
Mensucikan
diri dan mengingat tuhannya (muraqabatullah)
|
5.
|
QS.
An-Nisa : 73
|
Berjihad
|
6.
|
QS.
Al-Hadid : 12
|
Beriman
(memperoleh catatan amal yang baik)
|
7.
|
QS.
Al-Maidah : 119
|
Berlaku
benar (shidiq)
|
8.
|
QS.
At-Taubah : 72
|
Beriman
|
9.
|
QS.
At-Taubah : 20
|
Beriman,
hijrah, dan jihad
|
10.
|
QS.
At-Taubah : 88
|
Beriman
dan berjihad
|
Tabel 5.
Langkah-langkah untuk mencapai al-Fauz
No
|
Al-Falah
|
|
Ayat
|
Langkah-langkah
|
|
1.
|
QS. Al-Mukminun : 1
|
a. Beriman
b. Khusyu’ dalam mengerjakan shalat
c. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna
d. Membersihkan diri dengan menunaikan zakat
e. Memelihara kemaluan
f. Memelihara amanat, dan
g. Menunaikan janji
|
2.
|
QS. Al-Hasyr : 9
|
Lebih mengutamakan orang lain daripada
dirinya sendiri dengan niat ikhlas karena Allah (itsar).
|
3.
|
QS. Yunus : 77
|
Beriman pada Allah dan tidak berlaku
zalim
|
4.
|
QS. Yusuf : 23
|
Menjaga diri dan tidak berlaku zalim
|
5.
|
QS. Al-An’am : 21
|
Tidak berlaku zalim
|
6.
|
QS. Al-Maidah : 90
|
Menjauhi hal-hal yang dilarang oleh
Allah
|
7.
|
QS. Al-Hajj : 77
|
a. Tunduk dan taat kepada Allah.
b.
Beribadah
kepada Allah dengan segala apa yang digunakan untuk menghambakan diri pada-Nya.
c. Berbuat kebaikan yang diperintahkan, seperti
bersilaturahim dan berakhlak mulia.
|
8.
|
QS. Al-Maidah : 100
|
Bertakwa dan menggunakan akal
|
9.
|
QS. Al-Maidah : 35
|
Bertakwa, berjihad, dan mendekatkan
diri pada Allah
|
Tabel 6.
Langkah-langkah untuk mencapai al-Falah
Melalui tabel di atas dapat
diketahui bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka menggapai al-Falah
itu dipaparkan lebih terperinci daripada langkah-langkah untuk mendapatkan al-Fauz
meskipun mempunyai dimensi yang sama, yaitu keimanan dan ketakwaan. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa secara substansi, langkah-langkah yang harus
ditempuh untuk mendapatkan al-Fauz itu sama dengan langkah-langkah untuk
mendapatkan al-Falah.
D. Relevansi
al-Fauz dan al-Falah dalam Konteks Kekinian serta Langkah-Langkah
untuk Menggapainya menurut Tuntunan Al-qur’an
Di
zaman sekarang, banyak orang yang berpaham bahwa dimensi-dimensi keberhasilan
duniawi itu terpisah dari ikhtiar-ikhtiar yang sifatnya ukhrawi atau
ritual-ritual yang berorientasi pada akhirat. Begitupula dengan kemenangan dan
keberuntungan yang pada umumnya dimaknai hanya secara dhahir tanpa
mengaitkannya dengan unsur-unsur keagamaan, padahal justru nilai-nilai yang
sifatnya ukhrawi itulah yang lebih menjanjikan dalam rangka menggapai keduanya.
Oleh karena itulah al-Fauz dan al-Falah
yang dijanjikan dalam al-Qur’an berkaitan erat dengan dimensi-dimensi ketakwaan
yang merupakan kunci keberhasilan dalam menggapai keduanya, sehingga hal ini
menjadi bukti adanya keterkaitan yang erat antara kemenangan dan keberuntungan
duniawi dengan unsur-unsur agama yang
bersifat ukhrawi.
Dalam
konteks masa sekarang, hampir segala aspek kehidupan menuntut sesuatu yang
modern. Relevansi antara al-Fauz dan al-Falah dalam konteks
kekinian dapat dimaknai sebagai suatu kemenangan dan keberuntungan duniawi
maupun ukhrawi yang diperoleh melalui jalan takwa. Konsep mengenai ketakwaan
inilah yang nantinya akan melahirkan langkah-langkah menuju kemenangan dan
keberuntungan tersebut dengan tetap menyandang predikat sebagai manusia yang
modern.
Dengan
menjadi insan yang bertakwa, seseorang akan mampu menggapai kemenangan dan
keberuntungan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, langkah-langkah yang
harus ditempuh pun dapat diketahui melalui dimensi-dimensi ketakwaan yang
didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, mengambil referensi tradisi, dan
merumuskannya dengan idiom-idiom modern. Dengan demikian, dapat dirumuskan enam
kriteria ketakwaan :
1. Mampu
menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahannya dan mampu merelevansikan ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an dengan
realitas masa kini.
2. Senantiasa
menegakkan shalat sebagai realisasi dari pengakuannya terhadap Allah sebagai
tuhan (keimanan).
3. Memiliki
iman yang fungsional yang dimanivestasikan melalui aktivitas dan amal shaleh.
4. Mempunyai
visi yang jelas mengenai masa depan yang hendak dibangunnya.
5. Menangani
pekerjaan secara team work yang kompak berlandaskan Ukhuwah Islamiyah.
6. Mampu
menunda kesenangan sesaat demi kesenangan abadi yang hakiki.[60]
Seiring
berjalannya waktu, penalaran manusia terhadap masalah-masalah duniawi juga
turut mengalami perkembangan. Enam kriteria di atas mencerminkan langkah-langkah
yang harus ditempuh oleh seseorang dalam rangka meraih kemenangan dan
keberuntungan di dunia maupun di akhirat sesuai dengan konteks yang dibutuhkan
di masa kini. Melalui langkah-langkah di atas pula seseorang dapat menjadi
manusia modern tanpa harus kehilangan ketakwaan dan keimanannya terhadap Allah
swt. Dengan demikian dapat diketahui bahwa aspek-aspek ukhrawi juga berperan
penting dalam menentukan keberhasilan dalam aspek duniawinya, keduanya saling
berkaitan dan tak dapat terpisahkan.
BAB IV
PENUTUP
Konsep
mengenai al-Fauz dan al-Falah telah dipaparkan panjang lebar di
atas. Al-Fauz lebih mengarah pada terpenuhinya janji Allah terhadap
orang yang beriman dan bertakwa berupa surga dan segala kenikmatan yang ada di
dalamnya serta mendapat keridhaan-Nya. Di samping itu, al-Fauz juga
dapat dimaknai dengan terhindarnya seseorang dari azab baik di dunia maupun di
hari akhirat.
Sedangkan
al-Falah sering memaparkan bagaimana proses seseorang dalam mendapatkan
keberuntungan, tidak dengan serta-merta namun melalui perjalanan dan proses
yang panjang yang tak jarang terasa pedih. Seperti halnya seorang petani yang
berusaha keras dalam menunggu hasil panen. Sehingga dunia merupakan ladang yang
tepat untuk menguji keimanan dan ketakwaaan seseorang.
Memenuhi
tuntutan di zaman sekarang, perlu ditemukan langkah-langkah yang sesuai dengan
tuntunan al-Qur’an dalam meraih kemenangan dan keberuntungan, dan satu-satunya
jalan yang harus ditempuh adalah jalan takwa. Ketakwaan pun harus dimaknai sesuai
dengan konteks masa sekarang tanpa harus mengabaikan arahan-arahan dari
al-Qur’an. Dengan demikian, langkah-langkah yang harus ditempuh pun dapat
diketahui melalui dimensi-dimensi ketakwaan yang telah dijelaskan di atas.
Demikianlah
penelitian ini, diharapkan supaya dapat menjadi sumbangan pengetahuan dan
bermanfaat bagi dunia pembelajaran khususnya di Bidang Tafsir. Di samping itu, penelitian
ini juga terbuka bagi kritik dan saran yang membangun.
Fastabiqul
Khairat!
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) Juz 1-30.
Hamka, Tafsir Al-Azhar.
HM Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) Jilid 1-15.
Muhammad
Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar. Kairo: Darul Manar. 1950.Vol.V
Sayyid
Quthb. Fi Dzilalil Qur’an. Beirut: Darus Syuruq. 1992.Vol.III
Muhammad Fuad Abdul Baqi.Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadhil Qur’an al-Karim.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet.
Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam
Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2005)
Ary
Ginanjar Agustian. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Enam Rukun
Iman dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2001.
Hamka, Tasauf Modern, cet. Ke-1
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987)
Michael
Hart. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Midas
Surya Grafindo. 1985.
Nana
Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.2006.cet ke-2.
Syahrin Harahap. Islamy
dinamis Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-qur’an dalam Kehidupan Modern di
indonesia. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. 1997.cet-1.
[1]
Al-Isra’ (17) : 36.
[2] Al-Mulk (67) : 10.
[3] Al-Kahfi (18) : 29.
[4] Al-Baqarah (2) : 286.
[5] Al-Isra’ (17) : 15.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002) I:xviii.
[7] Nana
Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, cet ke-2 (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 221.
[10]
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet.
Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[11] Majma’
al-Lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq
Ad-Dauliyah, 2005) hlm.705-706.
[12] M. Abdul Qasem. Etika Al-Ghazali:
Etika Mejemuk di Dalam Islam.(Bandung: Pustaka 1998)hlm. 6.
[13]
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar; Surah Al-Buruj
[14] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1 (Semarang: Toha Putra, 1986) IV: 271.
[15] Prof.
Dr. Hamka, Tasauf Modern, cet. Ke-1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987)
Hal.305-306.
[16]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) IX: 146.
[17]
Michael Hart. Seratus
Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo.
1985. Hlm.33.
[19]
Ary
Ginanjar Agustian. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan Enam Rukun
Iman dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2001. Hlm.146
[21]
Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus
Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[22]
Majma’ al-Lughah
al-‘Arabiyah, Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Maktabah Asy-Syuruq
Ad-Dauliyah, 2005) hal.705-706.
[23]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), X: 256.
[24]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1
(Semarang : Toha Putra, 1986) II: 62.
[25] Dikutip
dari tulisan Ghofar Ismail S.ag, M.ag yang berjudul Kunci Kesuksesan di
Majalah Suara Muhammadiyah.
[26]
Ary Ginanjar Agustian. Emotional Spiritual Quotient (ESQ) berdasarkan
Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga. 2001. Cet-1.
Hlm.255.
[27] Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:Pustaka Progressif.1997. cet-14
[28] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
XV: 20-22.
[29] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) XXI: 27.
[30] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
XV: 300-301.
[32]
Al-Ma’un (107): 5-6.
[33] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
XV: 218-219.
[35] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) XXVII: 312.
[36] Ayat ini menjelaskan tentang
perbedaan antara penghuni surga dan neraka, penghuni surga selalu berada dalam
curahan rahmat dari Allah dan mendapatkan apa yang mereka damba-dambakan,
sedangkan penghuni neraka yang selalu berada dalam keadaan merugi dan tersiksa.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986) XXVII: 312.
[37]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) III:256.
[39] Sayid Quthb. Fi Dzilalil
Qur’an. Beirut: Darus Syuruq. 1992.III:1614.
[40] Muhammad
Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar. Kairo: Darul Manar. 1950. V:259.
[41] Sayid
Quthb. Tafsir Fi Dzilalil Qur’an. Beirut: Darus Syuruq. 1992.III:1684.
[42] Muhammad
Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar. Kairo: Darul Manar. 1950. X:675.
[43] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986), XVIII:3-7.
[44] Al-Baqarah (2) : 62 Ayat ini berisi
penganugerahan nikmat dan pahala bagi siapapun yang beriman pada Allah dan hari
akhir, serta mengerjakan kebajikan (amal shaleh). Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang:
Toha Putra, 1986), XVIII:3-7.
[45] Al-Baqarah (2) : 177 Ayat ini
menjelaskan bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang beriman kepada Allah
sekaligus melaksanakan segala perintah-Nya. Dalam ayat ini disebutkan bahwa
untuk menjadi orang yang bertakwa, mereka juga harus menunaikan zakat,
memerdekakan budak, menepati janji, dan bersabar, yang kesemuanya itu merupakan
amal shaleh yang akan mengantarkan mereka pada puncak ketaatan tertinggi, yaitu
takwa.
[46] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) XIV:
115.
[48] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1(Semarang: Toha Putra, 1986), XI: 71.
[51]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, cet. Ke-1(Semarang:
Toha Putra, 1986), hlm. 57.
[56]
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet.
Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) hal.1077.
[57] Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1 (Semarang: Toha Putra, 1986) IV: 271.
[58] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997) hal.1077.
[59]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, cet. Ke-5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) IX: 132
[60]
Syahrin Harahap. Islam
dinamis Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-qur’an dalam Kehidupan Modern di
indonesia. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya. 1997.cet-1 hal. 110. Ahmad
Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
cet. Ke-1 (Semarang: Toha Putra, 1986) IV: 271.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar